Pages

Ads 468x60px

Monday, May 28, 2012

Quo Vadis Pertambangan Indonesia

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 07 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Inti dari peraturan ini adalah pelarangan ekspor 65 jenis bahan tambang mineral, produk mineral tersebut harus diolah hingga tahapan dengan spesifikasi  tertentu sebelum bisa diekspor ke luar negeri. Satu poin yang paling saya tangkap dari regulasi ini adalah, negara kita sudah cukup percaya diri terhadap kekuatannya sendiri.
Kebetulan saya sedang mencoba melihat-lihat data salah satu bahan mineral diantara yang 65 tersebut, terutama berhubungan dengan ekspor, yaitu Bauksit. Temuan saya yang pertama sangat mencengangkan, ternyata 100% bauksit Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, dan 80% dari ekspor tersebut ditujukan ke China. Sementara Indonesia sendiri memiliki pabrik peleburan bauksit INALUM, yang bahan mentah bauksitnya justru diimpor dengan harga yang lebih tinggi.
Tahun 2011, ESDM mencatat produksi bauksit sebesar 8,25 juta metrik ton, dan keseluruhannya diekspor. Karena 80% diekspor ke China, berarti ada sekitar 6,6 juta ton bauksit Indonesia di pasar China. Namun ketika saya coba melihat data impor China, tercatat impor bauksit sebanyak 45 juta ton, dan 80% atau sekitar 36 juta ton berasal dari Indonesia. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara ekspor ke China yang dicatat Indonesia dengan impor dari Indonesia yang dicatat oleh China, Indonesia mencatat ekspor 6,6 juta ton, China mencatat impor 36 juta ton. Selisih yang tidak tanggung-tanggung besarnya, hampir 5,5 kali dari yang dicatat Indonesia.
Saya berpikir kok bangsa kita ini sangat aneh ya. Ini pemerintah tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Lantas darimana China memperoleh selisih sebesar itu? Tentu itu adalah ulah pengusaha pertambangan yang tidak melaporkan produksi dan ekspornya, tentu mereka juga tidak membayar royalti ke pemerintah, yang tentu pula harus diganti dengan suap kepada oknum-oknum.
Permasalahan seperti inilah yang mungkin akan bisa diatasi dengan keluarnya regulasi ekspor mineral ini. Belum lagi multiplier effect yang ditimbulkan ke perekonomian Indonesia dengan pembangunan pabrik pengolahan bahan mineral (smelter) di Indonesia. Lapangan kerja pasti juga akan meningkat.
Dan, resistensi sudah muncul dari kalangan LSM, media, aktivis, politisi, dan aparat-aparat yang dirugikan oleh keluarnya peraturan ini. Sebentar lagi kita akan melihat panggung publik, terutama media, akan ramai menolak peraturan ini dengan seolah-olah pro buruh, pro tenaga kerja, pro kepastian usaha, dll. Padahal mereka ini adalah orang-orang bayaran untuk mengamankan kepentingan pengusaha kotor. Opini publik akan digiring oleh media untuk melakukan penolakan. Kita lihat saja apakah pemerintah nanti akan sanggup untuk menahan tekanan publik, tentu dengan resiko kehilangan popularitas.
Apakah kita ingin Indonesia mengalami kejadi seperti yang dialami Australia? Kevin Ruud diturunkan dari kursi Perdana Menteri karena mengeluarkan kebijakan yang tidak populis, yaitu berencana menaikkan pajak tambang hingga 40%. Popularitasnya turun drastis karena tekanan dari media, media yang tentu dibiayai oleh konglomerat-konglomerat pengusaha pertambangan yang dirugikan bila regulasi tersebut dikeluarkan. Mari kita pikirkan sendiri!

0 comments: