Pages

Ads 468x60px

Friday, June 20, 2014

Resiko Perdagangan Frekuensi Tinggi

Kontan, 20 Juni 2014
Bank of America, Bursa Saham New York (NYSE), dan beberapa perusahaan broker yang melakukan perdagangan frekuensi tinggi mendapat gugatan class action dari ibu kota negara bagian Rhode Island, Amerika Serikat. Kejadian ini terjadi pada April 2014 lalu. Mereka dituduh telah melakukan manipulasi pasar sekuritas AS dalam perdagangan frekuensi tinggi (High Frequency Trading).
Biro Penyidikan Federal (FBI) dilaporkan sedang melakukan penyelidikan akan kasus ini. Investigasi dilakukan untuk melihat apakah perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perdagangan frekuensi tinggi menggunakan informasi perdagangan untuk mendapat keuntungan dalam tempo singkat.
Dalam dokumen yang diajukan di pengadilan federal Manhattan dinyatakan bahwa sistem perdagangan ini memberi keuntungan lebih dari 1.000 mikrodetik dibanding sistem perdagangan biasa. Keunggulan kecepatan mikrodetik itu kemudian yang akan digunakan mengeksploitasi data pasar untuk membatalkan pesanan atau mengeksekusi perdagangan. Waktu yang kelihatannya sedikit itu adalah lebih dari cukup untuk menghasilkan keuntungan yang luar biasa.
Isu tentang perdagangan frekuensi dengan kecepatan tinggi ini menyeruak belakangan ke publik. Itu terjadi sejak Michael Lewis menerbitkan buku Flash Boys: A Wall Street Revolt Maret 2014. Michael Lewis berargumen bahwa pasar saham AS dicurangi ketika para pedagang frekuensi tinggi dengan komputer canggih mencetak puluhan miliar dolar dengan mengandalkan kecepatan yang ada di depan investor umum.
Secara teori, transaksi ini dilakukan dengan membeli saham pada harga bid dan langsung menjual pada harga sell seketika itu juga sebelum harga sempat berubah. Data transaksi atau antrian yang akan dilakukan broker juga bisa dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan seperti metode arbitrase. Dan transaksi ini dilakukan dengan frekuensi yang sangat tinggi atau secara berulang-ulang. Transaksi dilakukan oleh komputer dengan algoritma yang super canggih dan didukung internet berkecepatan tinggi.
Cerita menghasilkan keuntungan dengan mengandalkan kecepatan sebenarnya bukan hal baru. Tahun 1815 di Bursa Efek London, Dinasti Rothschild yang termahsyur itu membangun sebuah jaringan mata-mata di penjuru Eropa untuk mengumpulkan informasi ketika terjadi Pertempuran Waterloo. Sistem mata-mata yang unik diciptakan dengan memanfaatkan burung merpati, kuda-kuda tercepat, serta jaringan kurir yang sangat efisien. Mata-mata juga ditempatkan di kedua kubu yang sedang berperang.
Rothschild mencetak keuntungan besar sepanjang perang itu. Kabar yang diperoleh melalui jaringan mata-mata dimanfaatkan untuk melakukan transaksi jual dan beli. Dan yang paling mencengangkan, berita kemenangan diperoleh Rotschild sehari lebih dahulu daripada berita resmi dari pemerintah. Rotschild langsung memborong obligasi pemerintah Inggris sebelum kabar tersebar di pasar. Dikabarkan keuntungan spektakuler diperoleh keluarga Rothschild dengan menggunakan leverage.

Implikasi kepada investor
Di era sekarang, teknologi menjadi sangat vital bagi kehidupan. Kecepatan kuda atau merpati yang dimanfaatkan dahulu, sekarang digantikan oleh jaringan serat optik yang canggih. Teknologi yang terus berkembang akan diikuti oleh sistem perdagangan saham yang semakin canggih juga.
Di Indonesia sendiri sistem ini mungkin belum populer saat ini. Belum banyak pihak yang membahas ini di Indonesia. Namun tren ke depan akan ke arah ini. Pihak fasilitator dan regulator bursa harus siap menghadapinya. Sebab sistem yang canggih ini juga menyimpan potensi resiko mengacaukan pasar. Ini berhubungan dengan resiko volatilitas jangka pendek yang tak terkontrol di bursa.
Kekacauan di bursa sangat mungkin terjadi bila infrastruktur tidak siap. Transaksi berfrekuensi tinggi ini berpotensi menimbulkan eror dalam sistem perdagangan bursa. Sebab eksekusi perdagangan yang terjadi bisa mencapai jutaan transaksi dalam sekejab mata.
Resiko sistematik sangat mungkin terjadi. Lihat saja peristiwa Maret 2010 flash crash ketika Dow Jones rontok lebih dari 1.000 poin dalam hitungan menit. Pada Agustus 2012, Knight Capital Partners juga runtuh akibat permasalahan dalam algoritma sistem perdagangan. Kerugian yang ditimbulkan mencapai US$ 440 juta.
Praktik perdagangan frekuensi tinggi ini masih mengundang perdebatan hingga saat ini. Metode ini memang membuat pasar semakin efisien karena spread semakin tipis. Likuiditas pasar juga semakin meningkat. Namun satu sisi, praktik ini juga cenderung tidak fair karena merugikan investor umum yang tidak memiliki fasilitas canggih.
Poinnya bagi investor konvensional adalah bahwa jika tidak memiliki platform yang canggih, susah untuk melawan dominasi dari mereka yang memiliki sistem yang lebih canggih. Keuntungan jangka pendek adalah semakin susah diperoleh dengan trading. Namun ini tidak akan relevan untuk jangka panjang dimana harga bergantung pada fundamental. Jadi bila kita tidak memiliki platform teknologi yang canggih, sebaiknya investasi jangka panjang adalah yang paling rasional untuk dilakukan.

Monday, June 16, 2014

The Art of Rethorics

Dalam debat calon presiden semalam, retorika yang dilemparkan kebanyakan dibangun diatas kontradiksi dan melanggar logika ekonomi. Contohnya seorang kandidat mengatakan angka pengangguran akan ditekan secara signifikan dengan mengembangkan sektor pertanian. Kedengarannya memang hebat dan populis, namun sebenarnya tidak sesuai logika ekonomi. Saya tidak tahu dimana ini orang belajar ekonomi.
Seni beretorika mendapat tempat yang sangat tinggi dalam sejarah intelektual peradaban. Berbeda dengan sekarang (mungkin hanya di Indonesia?) yang menganggap retorika hanya sebagai upaya memanipulasi atau mengaburkan fakta kebenaran. Padahal seni beretorika dalam perdebatan adalah elemen penting untuk menemukan kebenaran.

Dalam ilmu klasik, subjek utama yang dipelajari dalam Liberal Arts dikenal dengan istilah Trivium, yaitu: Grammar, Rhetoric, dan Logic. Pada perkembangan berikutnya di Era Pertengahan (medieval), empat subjek dengan istilah Quadrivium ditambahkan, yaitu: Arithmetic, Geometry, Astronomy, dan Music. Keseluruhan Trivium dan Quadrivium inilah yang dikenal dengan istilah the Seven Liberal Arts.
Aristoteles memperkenalkan tiga basic utama dalam seni beretorika:
  1. ETHOS. Orang yang menyampaikan harus layak dipercaya sesuai dengan track record.
  2. PATHOS. Beretorika itu adalah pertarungan antara emosi dengan rasionalitas. Emosi harus tetap ditekan dan mengedepankan rasionalitas.
  3. LOGOS. Retorika harus dibangun dengan konstruksi logika yang baik. Pengambilan kesimpulan harus dilakukan berdasarkan silogisme yang valid.
Pendidikan dengan model seperti inilah yang dinikmati oleh kebanyakan pemikir dunia yang tercatat oleh sejarah. Sistem pendidikannya memang sudah mempersiapkan manusia untuk menjadi seorang pemikir yang kritis, dengan dasar yang kuat di bidang ilmu sosial, sains, nalar, dan kepekaan.

Di era modern sekarang, ekonomi dan politik semestinya dibangun di atas ilmu pengetahuan. Masyarakat tumbuh semakin kritis dan melek dengan informasi. Kekuatan bukan lagi diukur dari senjata dan otot. Sebab itu kemampuan retorika yang dibangun di atas logika mutlak diperlukan jika ingin melempar wacana atau ide yang kuat ke publik. Jika tidak, seorang politisi itu tidak ubahnya dengan tukang obat di pasar.
Kita sebagai individu juga penting memiliki dasar keilmuan ini. Jika tidak, kita akan tumbuh menjadi manusia yang menganut kebenaran yang hanya hasil konstruksi dari orang lain. Atau mungkin hasil konstruksi mayoritas atau konsensus.
Ngomong-ngomong, saya sedang membayangkan debat canggih antara Sri Mulyani dengan Gita Wirjawan sebagai calon presiden. Eh tapi itu tidak mungkin, mereka kan neolib. :p