Pages

Ads 468x60px

Monday, June 16, 2014

The Art of Rethorics

Dalam debat calon presiden semalam, retorika yang dilemparkan kebanyakan dibangun diatas kontradiksi dan melanggar logika ekonomi. Contohnya seorang kandidat mengatakan angka pengangguran akan ditekan secara signifikan dengan mengembangkan sektor pertanian. Kedengarannya memang hebat dan populis, namun sebenarnya tidak sesuai logika ekonomi. Saya tidak tahu dimana ini orang belajar ekonomi.
Seni beretorika mendapat tempat yang sangat tinggi dalam sejarah intelektual peradaban. Berbeda dengan sekarang (mungkin hanya di Indonesia?) yang menganggap retorika hanya sebagai upaya memanipulasi atau mengaburkan fakta kebenaran. Padahal seni beretorika dalam perdebatan adalah elemen penting untuk menemukan kebenaran.

Dalam ilmu klasik, subjek utama yang dipelajari dalam Liberal Arts dikenal dengan istilah Trivium, yaitu: Grammar, Rhetoric, dan Logic. Pada perkembangan berikutnya di Era Pertengahan (medieval), empat subjek dengan istilah Quadrivium ditambahkan, yaitu: Arithmetic, Geometry, Astronomy, dan Music. Keseluruhan Trivium dan Quadrivium inilah yang dikenal dengan istilah the Seven Liberal Arts.
Aristoteles memperkenalkan tiga basic utama dalam seni beretorika:
  1. ETHOS. Orang yang menyampaikan harus layak dipercaya sesuai dengan track record.
  2. PATHOS. Beretorika itu adalah pertarungan antara emosi dengan rasionalitas. Emosi harus tetap ditekan dan mengedepankan rasionalitas.
  3. LOGOS. Retorika harus dibangun dengan konstruksi logika yang baik. Pengambilan kesimpulan harus dilakukan berdasarkan silogisme yang valid.
Pendidikan dengan model seperti inilah yang dinikmati oleh kebanyakan pemikir dunia yang tercatat oleh sejarah. Sistem pendidikannya memang sudah mempersiapkan manusia untuk menjadi seorang pemikir yang kritis, dengan dasar yang kuat di bidang ilmu sosial, sains, nalar, dan kepekaan.

Di era modern sekarang, ekonomi dan politik semestinya dibangun di atas ilmu pengetahuan. Masyarakat tumbuh semakin kritis dan melek dengan informasi. Kekuatan bukan lagi diukur dari senjata dan otot. Sebab itu kemampuan retorika yang dibangun di atas logika mutlak diperlukan jika ingin melempar wacana atau ide yang kuat ke publik. Jika tidak, seorang politisi itu tidak ubahnya dengan tukang obat di pasar.
Kita sebagai individu juga penting memiliki dasar keilmuan ini. Jika tidak, kita akan tumbuh menjadi manusia yang menganut kebenaran yang hanya hasil konstruksi dari orang lain. Atau mungkin hasil konstruksi mayoritas atau konsensus.
Ngomong-ngomong, saya sedang membayangkan debat canggih antara Sri Mulyani dengan Gita Wirjawan sebagai calon presiden. Eh tapi itu tidak mungkin, mereka kan neolib. :p

0 comments: