Pages

Ads 468x60px

Monday, November 28, 2011

Mengukur Efektivitas Penurunan BI Rate Terhadap Sektor Riil

Pihak pemerintah melalui BI sudah mengumumkan penurunan BI rate sebesar 50 bps dari sebelumnya 6,5% menjadi 6%. Deflasi yang terjadi di bulan Oktober menjadi alasan utamanya. Selain itu, pemerintah juga ingin menggerakkan pertumbuhan sektor riil melalui kebijakan suku bunga rendah. Dengan inflasi yang rendah, maka real interest rate Indonesia menjadi ketinggian sehingga wajar kalau BI rate diturunkan sebesar 50 bps, karena di negara lain bahkan real interest rate itu angkanya hampir sama dengan inflasi, dan bahkan ada yang negatif.

Penurunan BI rate yang sangat drastis ini diluar dugaan berbagai ekonom. Kebanyakan para pelaku pasar memprediksi ruang untuk penurunan hanya sebesar 25bps. Bahkan ada juga yang meramalkan bahwa BI rate bertahan di 6,5% untuk mengantisipasi tingginya inflasi di bulan Desember 2011 dan Januari 2012.

Sebenarnya tidak ada yang aneh dengan langkah penurunan rate yang sangat signifikan ini. Seperti yang kita ketahui, BI menjalankan kebijakannya berdasarkan Inflation Targeting Framework (ITF). ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter.

Kemudian timbul pertanyaan “Efektifkah kebijakan penurunan BI rate tersebut?”. Hal ini mungkin adalah permasalahan yang sangat klasik di sektor perbankan Indonesia. Bank-bank di Indonesia terkenal sangat bandal dalam masalah suku bunga. Kebijakan suku bunga rendah oleh BI tidak merta merta diikuti dengan penurunan suku bunga kredit oleh bank-bank umum. Pemerintah juga tidak memiliki instrumen yang tepat untuk mengatasi permasalahan tersebut. Yang sering dilakukan oleh BI hanya berupa himbauan moral (moral persuasion) kepada pihak perbankan.

Saat ini saja, rata-rata spread bunga deposito terhadap pinjaman di Indonesia mencapai 7%. Dengan kata lain bahwa dengan tidak melakukan apapun bank akan menikmati laba bersih yang tinggi. Akibatnya wajar saja operasional bisnis perbankan di Indonesia sangat jauh dari kata efisien.

Pihak perbankan beralasan bahwa ketatnya persaingan bisnis mengakibatkan mereka harus mempertahankan spread yang tinggi. Kita bisa bayangkan jika satu bank menurunkan suku bunga deposito sementara bank yang lain tidak ikut menurunkan suku bunga. Maka nasabah dari bank yang menurunkan suku bunga tersebut akan memindahkan dananya ke bank yang masih menawarkan suku bunga tinggi. Inilah alasan mereka tidak mau menurunkan suku bunga.

Solusi untuk mengatasi pernasalahan ini adalah pihak bank-bank besar duduk bersama dengan fasilitator pihak regulator atau asosiasi untuk mendiskusikan masalah ini. Kesepakatan bersama harus diambil terkait besaran suku bunga perbankan. Jika hal ini tidak dilakukan, kebijakan low interest ratedari BI tidak akan efektif, akibatnya sektor riil juga tetap tidak akan mampu bergerak sesuai ekspektasi. Pada akhirnya, yang menikmatinya adalah bank dengan margin keuntungan yang sangat besar.

0 comments: