Pages

Ads 468x60px

Monday, August 27, 2012

The Wisdom of Playing the Fool


"If anyone thinks that he is wise among you in this world, let him become a fool, that he may become wise." (1 Corinthians 3:18)
 
Alkisah di suatu wilayah pada abad ke-5, hidup seorang ahli Matematika yang sangat terkenal dengan kepintarannya. Dia sering ditanyai tentang masalah matematis yang berhubungan dengan ekonomi oleh pemimpin daerah tersebut. Suatu hari dalam keramaian, dia berjumpa dengan kepala desa dimana dia tinggal, dan kepala desa itu berkata kepadanya “Anda adalah seorang ahli matematika dan ekonomi, namun putra Anda adalah seorang yang sangat bodoh, bahkan membedakan mana yang paling berharga antara emas dan perak saja tidak bisa!”. Hati sang ahli ini sangat sakit mendengar ucapan itu.
Untuk membuktikannya, Sang Ahli itu memanggil putranya tersebut dan bertanya “Manakah yang lebih berharga antara Emas dengan Perak?”. Putranya menjawab “emas!".  Dengan heran Sang Ahli kemudian berkata “Mengapa Kepala Desa berkata bahwa kau menganggap perak lebih berharga daripada emas? Hati saya sangat sakit karena seluruh warga menertawakan kebodohanmu di depanku".
Putranya kemudian menceritakan apa yang terjadi selama ini. “Setiap akan berangkat ke sekolah, kepala desa selalu memanggil saya dan sengaja melakukannya di depan orang ramai, dia memegang koin emas di tangan yang satu dan perak di tangan yang satu lagi, kemudian dia menyuruh saya untuk mengambil pulang mana yang paling berharga diantara kedua itu, dan saya memilih koin perak, bukan emas”. Kemudian dia menjelaskan bahwa kejadian tersebut terus terjadi setiap hari dan orang ramai terus menertawakan kebodohannya. Dan semakin hari semakin banyak orang yang datang berkumpul untuk menertawakan kebodohannya.
Sang ahli dengan sangat heran bertanya kepada putranya “Kenapa kamu memilih perak sementara kamu tahu bahwa emas lah yang paling mahal harganya?”. Sang Putra kemudian segera masuk ke kamar dan kembali dengan membawa setumpuk koin perak dalam jumlah yang banyak dan berkata “Jika saya memilih emas, maka permainan akan segera berakhir dalam sehari, sehingga saya tidak akan dapat mengumpulkan koin perak sebanyak ini yang nilainya jauh lebih besar daripada sekeping koin emas". Si Ayah terhenyak dan menyadari bahwa ternyata dirinya lah yang bodoh.
Ya, hal seperti ini nyata dalam kehidupan sehari-hari. Ada orang yang sebenarnya punya kecerdasan jauh diatas rata-rata namun bertingkah seperti orang bodoh atau konyol. Mungkin seseorang itu akan bersikap seperti anak-anak atau berbicara asal-asalan seperti orang yang tidak berpendidikan. Sebaliknya orang yang sebenarnya biasa-biasa saja tapi kelihatan seperti orang maha tahu juga banyak di dunia ini.
Apakah ada yang salah dengan pemainan hidup seperti itu? Sebenarnya tidak ada, itu hanya masalah strategi seseorang untuk menghadapi permainan dalam hidup saja. Mungkin itu adalah oxymoron dalam kehidupan, ketika dua hal yang kontradiktif diperhadapkan dengan sengaja untuk menimbulkan semacam paradox. Yang menjadi pelajaran adalah: jangan pernah menganggap sepele orang yang kelihatannya bodoh karena bisa jadi sebenarnya anda lah yang benar-benar bodoh.

Thursday, August 16, 2012

Nasionalisme dan Kentut Demokrasi


Bila ditanya kenapa saya harus mencintai Indonesia, saya akan jawab karena memang keharusan. Saya lahir di Indonesia, saya besar di Indonesia, darah saya adalah Indonesia, jadi suka tidak suka saya harus mencintai negara ini, dengan segala carut-marutnya. Negara yang saat ini kelihatannya seperti tidak ada hal positif di dalamnya, bahkan ada yang mengatakan negara gagal. Sangat menyedihkan menyebut negara sendiri sebagai negara gagal.
Indonesia memang sekarang menikmati fase demokrasi yang sangat indah, setelah 32 tahun tenggelam dalam rezim otoriter Soeharto. Jatuhnya Soeharto saat bersamaan dengan krisis ekonomi 1998 menjadi titik penting buat proses demokratisasi Indonesia, dan juga liberalisasi dalam perekonomian. Pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 yang dimenangkan oleh SBY juga menjadi tonggak sejarah buat Indonesia, bahkan tahun 2009 terpilih lagi untuk periode ke-dua.
Proses demokratisasi Indonesia terjadi nyaris tanpa pertumpahan darah, adalah hal yang mungkin sulit ditemukan di negara lain yang sedang mengalami proses tersebut. Proses reformasi pemerintahan, yang diikuti dengan desentralisasi kekuatan politik melalui konsep otonomi daerah, terbilang sukses dilaksanakan. Tidak heran jika dunia internasional menjadikan Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang sukses melakukan demokratisasi. Ekonomi Indonesia pun bertumbuh stabil sejak saat itu. Inilah dividen demokrasi yang telah kita peroleh.
Semua hal positif tersebut juga diikuti dengan era keterbukaan informasi di Indonesia, setiap orang dapat dengan bebas berpendapat. Media semakin bebas dalam berpendapat dengan sudut pandang masing-masing, media-media baru juga terus bermunculan. Namun, konglomerasi media yang dikuasai oleh pemilik modal yang juga terafiliasi dengan jaringan politik, membuat informasi yang bebas tersebut mengalami distorsi ketika disampaikan ke publik.
Sayangnya keterbukaan itu tidak diikuti dengan transformasi dalam tingkat intelektualitas masyarakat. Secara pemikiran dan mental, masyarakat belum siap dengan keterbukaan informasi. Akibatnya, terjadilah seperti yang sekarang. Masyarakat belum memiliki sistematika bernalar yang baik, sehingga tidak mampu memilah-milah informasi yang diterima. Akibatnya, media menjadi ajang yang paling baik untuk menjadi alat politik para elit.
Akhirnya, muncullah kaum elit munafik yang memanfaatkan media untuk mencapai keinginan sendiri atau golongan. Ya, itu mungkin merupakan bahan sisa atau residual dari proses demokratisasi kita, yang seharusnya dapat dihindari jika transformasi tersebut diikuti dengan peningkatan kualitas SDM, terutama intelektualitas. Mungkin inilah kesalahan utama dari proses demokratisasi kita.
Kaum elit munafik tersebut sebenarnya tak lebih dari kentut demokrasi, karena merupakan bahan sisa. Mereka memanfaatkan media untuk pencitraan, atau untuk menyerang lawan politik, yang kadang menggunakan cara diluar nalar orang waras. Syahwat berkuasa membuat mereka sanggup melewati batas-batas nalar, etika, dan moral.
Pihak oposisi menyerang penguasa melalui media yang mereka miliki, sangat jauh dari kata proporsional. Sengaja atau tidak, mereka menciptakan kesan bahwa negara ini adalah negara sampah, negara yang sama sekali tidak memiliki hal yang baik, negara yang penuh dengan permasalahan. Mereka menciptakan pesimisme di masyarakat-termasuk di kalangan anak muda, yang akan sangat membahayakan kelangsungan masa depan bangsa.
Padahal jika kita mampu memandang dengan bijaksana, sangat banyak hal baik dalam bangsa ini. Puluhan, bahkan mungkin ratusan atau ribuan, putra-putri terbaik bangsa kita berprestasi di dunia internasional, namun media tidak pernah memberitakan itu. Media lebih senang mengadakan acara debat politik yang tidak jelas arahnya selain ogah-ogahan untuk menunjukkan arogansi penguasa dan oposisi. Bangsa kita masih memiliki banyak anak muda yang tangguh, yang tidak mempan dengan godaan kekuasaan dan duit jahanam.
Saya teringat dengan testimoni dari Chatib Basri yang sekarang menjabat sebagai Ketua BKPM, ketika bersama mengikuti KTT G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sri Mulyani begitu dihormati dan didengar oleh para menteri keuangan negara maju lain, seperti Alistair Darling dari Inggris, Tim Geithner dari Amerika, atau Christine Lagarde dari Prancis. Dalam forum diskusi, Sri Mulyani kerap diminta menjadi pembicara pembuka, peran yang sangat vital dan prestisius. Darling atau Geithner di beberapa kesempatan, setelah mereka bicara, berpaling dan menanyakan,Sri Mulyani, what do you think….?” Bergetar hati saya mendengar hal ini, emosi kebangsaan saya tiba-tiba meledak. Sayangnya orang seperti ini tidak mendapat tempat di bangsa ini, politisi busuklah yang dipuja-puja.
Karena elit politik munafik tersebut tak lebih dari kentut demokrasi, sudah saatnya kita untuk menjauhi mereka agar kita tidak terkena bau busuknya. Kita juga harus meningkatkan kemampuan bernalar kita agar mampu memilah informasi dan memanfaatkannya demi kemajuan bangsa. Indonesia adalah negara dengan potensi yang luar biasa, dunia mengakuinya. Sudah saatnya kita menghargai bangsa kita sendiri, jangan biarkan elit busuk tersebut menghancurkan mimpi kita dan mimpi bangsa. Dirgahayu Indonesiaku!!

Monday, August 13, 2012

Leverage, leverage, dan leverage


Melihat dari kisah sukses orang-orang terkenal, terutama dalam bidang bisnis, ada satu kesamaan yang bisa kita temukan. Coba kita bayangkan bagaimana seseorang bisa memiliki aset hingga puluhan triliun dalam waktu 20 tahun. Bagaimana caranya seseorang yang tidak apa-apa muncul menjadi seorang miliarder dalam hitungan 10 tahun?

Rahasianya adalah mereka melakukan leverage. Pada umumnya, leverage berperan sangat besar dalam kesuksesan mereka. Leverage yang populer dan paling banyak dipahami oleh orang adalah dengan menggunakan hutang atau pinjaman. Ilustrasi sederhananya begini: Anda mempunyai uang IDR1 miliar dan menginvestasikannya dalam bisnis yang mampu menghasilkan laba 20% setahun. Berarti dalam setahun, anda akan mendapatkan keuntungan IDR200 juta. Berarti untuk tahun kedua, anda akan memiliki modal yang lebih besar menjadi IDR1,2 miliar. Ini adalah bisnis yang tidak menggunakan leverage.

Hal yang berbeda akan anda peroleh ketika menggunakan leverage. Selain dana IDR1 miliar yang anda miliki tadi, anda juga meminjam uang ke bank sebesar IDR500 juta dengan bunga tahunan 12%. Sekarang modal naik menjadi IDR1,5 miliar. Dengan modal IDR1,5 miliar tersebut, anda akan memperoleh keuntungan 20% tadi sebesar IDR300 juta dikurangi dengan bunga pinjaman bank yang harus anda bayar. Berarti anda akan memperoleh keuntungan bersih sebesar IDR240 juta (300 juta dikurangi dengan 12% X 500 juta). Berarti untuk tahun kedua, anda akan memiliki modal sebesar IDR1,24 miliar.

Leverage seperti inilah yang menjadi rahasia pebisnis dalam melipatgandakan kekayaan. Ilustrasi diatas adalah skenario yang sangat pesimis. Pada prakteknya, rata-rata leverage bisa  digunakan hingga 2-3 kali lipat dari ekuitas. Dalam contoh diatas, pinjaman bank juga sebenarnya bisa diperoleh lebih besar dari IDR500 juta, mungkin hingga 2-3 miliar sehingga modal bisnis anda akan meningkat menjadi 3-4 miliar pada awal tahun.

Dan dalam jangka waktu yang panjang, dengan keajaiban sistem pertumbuhan bunga majemuk (compound interest), perbedaan antara bisnis yang tidak menggunakan dengan yang menggunakan leverage ini akan sangat signifikan. Dari perhitungan saya dengan asumsi growth stabil 20% per tahun, jika tanpa leverage maka uang IDR1 miliar tadi akan menjadi sekitar IDR7,3 miliar dalam 20 tahun. Jika menggunakan leverage 0,5 kali dari ekuitas akan menjadi IDR10,7 miliar, jika menggunakan leverage 2 kali akan menjadi 21 miliar, jika leverage 3 kali akan menjadi 28,8 miliar. Perbedaan yang sangat besar bukan? Coba anda bayangkan jika asumsi pertumbuhan lebih besar dari 20%.

Memang pengenaan tarif pajak belum kita masukkan ke dalam ilustrasi di atas, tetapi itu tidak terlalu besar pengaruhnya. Dan terkadang bisnis memang tidak selalu stabil, ada kalanya mampu bertumbuh hingga diatas 50% setahun, namun ada kalanya juga bisnis malah bertumbuh negatif ketika sedang dalam masa resesi.

Inti dari leverage ini adalah meminjam uang ketika kita yakin bahwa uang hasil pinjaman tersebut akan menghasilkan tingkat pengembalian (return) yang lebih besar dibandingkan dengan bunga yang harus kita bayar atas utang tersebut. Jadi, tidak selamanya berutang itu adalah buruk.

Tetapi saya mengartikan leverage lebih luas lagi, saya berpendapat bahwa sebenarnya secara pribadi, kita juga mempunyai potensi atau kemampuan untuk me-leverage diri sendiri. Saya sebut ini dengan personal leverage. Anda bisa me-leverage diri melalui pergaulan dengan orang-orang yang berkualitas. Masuklah anda ke dalam lingkaran orang-orang berkualitas, dan pengaruhnya akan sangat terasa dalam jangka panjang. Dan menurut saya itu adalah hal yang sah-sah saja, asalkan anda juga memberikan kontribusi  yang menguntungkan terhadap orang tersebut, semacam simbiosis mutualisme mungkin. :D