Pages

Ads 468x60px

Thursday, August 16, 2012

Nasionalisme dan Kentut Demokrasi


Bila ditanya kenapa saya harus mencintai Indonesia, saya akan jawab karena memang keharusan. Saya lahir di Indonesia, saya besar di Indonesia, darah saya adalah Indonesia, jadi suka tidak suka saya harus mencintai negara ini, dengan segala carut-marutnya. Negara yang saat ini kelihatannya seperti tidak ada hal positif di dalamnya, bahkan ada yang mengatakan negara gagal. Sangat menyedihkan menyebut negara sendiri sebagai negara gagal.
Indonesia memang sekarang menikmati fase demokrasi yang sangat indah, setelah 32 tahun tenggelam dalam rezim otoriter Soeharto. Jatuhnya Soeharto saat bersamaan dengan krisis ekonomi 1998 menjadi titik penting buat proses demokratisasi Indonesia, dan juga liberalisasi dalam perekonomian. Pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 yang dimenangkan oleh SBY juga menjadi tonggak sejarah buat Indonesia, bahkan tahun 2009 terpilih lagi untuk periode ke-dua.
Proses demokratisasi Indonesia terjadi nyaris tanpa pertumpahan darah, adalah hal yang mungkin sulit ditemukan di negara lain yang sedang mengalami proses tersebut. Proses reformasi pemerintahan, yang diikuti dengan desentralisasi kekuatan politik melalui konsep otonomi daerah, terbilang sukses dilaksanakan. Tidak heran jika dunia internasional menjadikan Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang sukses melakukan demokratisasi. Ekonomi Indonesia pun bertumbuh stabil sejak saat itu. Inilah dividen demokrasi yang telah kita peroleh.
Semua hal positif tersebut juga diikuti dengan era keterbukaan informasi di Indonesia, setiap orang dapat dengan bebas berpendapat. Media semakin bebas dalam berpendapat dengan sudut pandang masing-masing, media-media baru juga terus bermunculan. Namun, konglomerasi media yang dikuasai oleh pemilik modal yang juga terafiliasi dengan jaringan politik, membuat informasi yang bebas tersebut mengalami distorsi ketika disampaikan ke publik.
Sayangnya keterbukaan itu tidak diikuti dengan transformasi dalam tingkat intelektualitas masyarakat. Secara pemikiran dan mental, masyarakat belum siap dengan keterbukaan informasi. Akibatnya, terjadilah seperti yang sekarang. Masyarakat belum memiliki sistematika bernalar yang baik, sehingga tidak mampu memilah-milah informasi yang diterima. Akibatnya, media menjadi ajang yang paling baik untuk menjadi alat politik para elit.
Akhirnya, muncullah kaum elit munafik yang memanfaatkan media untuk mencapai keinginan sendiri atau golongan. Ya, itu mungkin merupakan bahan sisa atau residual dari proses demokratisasi kita, yang seharusnya dapat dihindari jika transformasi tersebut diikuti dengan peningkatan kualitas SDM, terutama intelektualitas. Mungkin inilah kesalahan utama dari proses demokratisasi kita.
Kaum elit munafik tersebut sebenarnya tak lebih dari kentut demokrasi, karena merupakan bahan sisa. Mereka memanfaatkan media untuk pencitraan, atau untuk menyerang lawan politik, yang kadang menggunakan cara diluar nalar orang waras. Syahwat berkuasa membuat mereka sanggup melewati batas-batas nalar, etika, dan moral.
Pihak oposisi menyerang penguasa melalui media yang mereka miliki, sangat jauh dari kata proporsional. Sengaja atau tidak, mereka menciptakan kesan bahwa negara ini adalah negara sampah, negara yang sama sekali tidak memiliki hal yang baik, negara yang penuh dengan permasalahan. Mereka menciptakan pesimisme di masyarakat-termasuk di kalangan anak muda, yang akan sangat membahayakan kelangsungan masa depan bangsa.
Padahal jika kita mampu memandang dengan bijaksana, sangat banyak hal baik dalam bangsa ini. Puluhan, bahkan mungkin ratusan atau ribuan, putra-putri terbaik bangsa kita berprestasi di dunia internasional, namun media tidak pernah memberitakan itu. Media lebih senang mengadakan acara debat politik yang tidak jelas arahnya selain ogah-ogahan untuk menunjukkan arogansi penguasa dan oposisi. Bangsa kita masih memiliki banyak anak muda yang tangguh, yang tidak mempan dengan godaan kekuasaan dan duit jahanam.
Saya teringat dengan testimoni dari Chatib Basri yang sekarang menjabat sebagai Ketua BKPM, ketika bersama mengikuti KTT G20 di Pittsburgh, Amerika Serikat. Sri Mulyani begitu dihormati dan didengar oleh para menteri keuangan negara maju lain, seperti Alistair Darling dari Inggris, Tim Geithner dari Amerika, atau Christine Lagarde dari Prancis. Dalam forum diskusi, Sri Mulyani kerap diminta menjadi pembicara pembuka, peran yang sangat vital dan prestisius. Darling atau Geithner di beberapa kesempatan, setelah mereka bicara, berpaling dan menanyakan,Sri Mulyani, what do you think….?” Bergetar hati saya mendengar hal ini, emosi kebangsaan saya tiba-tiba meledak. Sayangnya orang seperti ini tidak mendapat tempat di bangsa ini, politisi busuklah yang dipuja-puja.
Karena elit politik munafik tersebut tak lebih dari kentut demokrasi, sudah saatnya kita untuk menjauhi mereka agar kita tidak terkena bau busuknya. Kita juga harus meningkatkan kemampuan bernalar kita agar mampu memilah informasi dan memanfaatkannya demi kemajuan bangsa. Indonesia adalah negara dengan potensi yang luar biasa, dunia mengakuinya. Sudah saatnya kita menghargai bangsa kita sendiri, jangan biarkan elit busuk tersebut menghancurkan mimpi kita dan mimpi bangsa. Dirgahayu Indonesiaku!!

1 comments:

Anonymous said...

Great, Boy!