Pages

Ads 468x60px

Monday, March 11, 2013

Agama dan Masyarakat Kosmopolitan


Agama mungkin adalah hal yang tidak relevan lagi dalam konsep masyarakat kosmopolitan — ide bahwa seluruh umat manusia adalah bagian dari komunitas tunggal. Sebab agama, melalui ajaran dan doktrin, cenderung mengarahkan manusia untuk berpikiran sempit, tidak bebas nilai, dan yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik sesama. Ide masyarakat kosmopolitan ini mungkin menjadi dasar berpikir semua filsafat etika.
Secara dimensi ruang atau jarak, peradaban manusia saat ini semakin mendekati konsep kosmopolit yang sempurna. Hampir tidak ada lagi batas komunikasi antara dua ujung dunia, dan semuanya tentu dengan biaya yang relatif murah. Walaupun memang jarak secara fisik belum mampu didekatkan oleh teknologi saat ini — terkendala oleh unsur dan partikel kehidupan yang belum bisa diciptakan secara artifisial. Namun argumen ilmiah terakhir sudah mengatakan bahwa alat tele-transporter bukanlah hal yang mustahil. Stephen Hawkins juga sebenarnya sudah menemukan argumen dimana ketiadaan menjadi ada secara tiba-tiba, berbeda dengan mesin waktu yang memang mustahil dan susah dijangkau rasio, setidaknya untuk saat ini.
Jauh mundur ke belakang, di sekitar abad ke-2 Masehi di era berkembangnya kepercayaan Hellenistic, Hierocles sebenarnya sudah meletakkan pondasi dasar untuk masyarakat kosmopolit,  dikenal dengan Hierocles circles model. Hierocles mengatakan manusia berada dalam satu lingkaran konsentris yang terdiri atas beberapa lapis. Lapisan ini dimulai dari diri sendiri sebagai pusat ego hingga lingkaran paling jauh alam semesta, baik dari ilmu astronomi maupun filsafat.
"Each one of us is as it were encompassed by many circles… the first and closest circle is the one which a person has drawn as though around a centre, his own mind… The outermost circle, which encompasses all the rest, is that of the whole human race… the task [is]… to keep zealously transferring those from the enclosing circles into the enclosed ones."
  (Hierocles in Long and Sedley 1987:57)  

Menurut teori ini, individu yang berada dalam masyarakat kosmopolitan harus menarik individu yang berada di lingkaran luar untuk mendekat ke lingkaran dalamnya sendiri, untuk menciptakan hubungan kuat secara emosional yang seharusnya akan mereduksi konflik.
Sekarang masing-masing kita sudah dapat mengukur diri ada di posisi dimana. Apakah kita masih berada di lingkaran paling dalam? Ataukah sudah berpindah ke lapis paling luar? Seharusnya manusia akan terus berpindah seiring bertambahnya umur dan meluasnya pergaulan. Menyedihkan jika manusia hanya berada di lingkaran pertama, kedua, atau ketiga.
Salah satu pertanyaan yang muncul adalah: Dapatkah seorang individu menyelesaikan seluruh proses ini dalam kehidupan? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Dan apa yang akan terjadi jika seluruh proses sudah selesai? Mungkin akan tercipta masyarakat Utopia menurut gambaran Thomas More.
Hal ini memang mungkin tidak akan pernah tercapai. Kehidupan manusia penuh dengan distorsi dan mispersepsi. Itu akibat keterbatasan manusia yang disebut dengan Scotoma: the mind sees what it chooses to see.
Saat ini, ada orang atau sekelompok yang sudah mengklaim diri sebagai warga dunia tanpa batas (universalist). Ini mungkin adalah mencontek ide dari Diogenes of Sinope (4SM) yang dikenal dengan praktek hidup yang sangat ekstrim, menyindir para filsuf etika yang hidup mapan saat itu. Satu waktu orang bertanya ketika dia berkeliaran dengan telanjang bulat di jalan raya Athena seperti binatang: “Darimanakah kamu berasal?”. Dia menjawab: “Saya adalah warga dunia”.
Namun teori ini juga memiiki kelemahan, sebab tidak semua individu memiliki lingkaran konsentris yang lengkap dan sempurna. Ada individu yang tidak memiliki salah satu, atau dua, atau lebih dari lapisan lingkaran konsentris. Namun disisi lain, setiap manusia akan terus mencari keberadaan lingkaran itu untuk mengisi kekosongan ruang. Akibatnya, individu itu akan menciptakan lingkaran konsentris buatan, hasil manipulasi dan rasionalisasi diri sendiri atau kelompok. Dan sayangnya, lingkaran artifisial ini tidak akan sempurna, kecenderungannya dibuat hanya berdasarkan kepentingan (ekonomi?), atau berdasarkan hitung-hitungan cost benefit.
Individu yang berada dalam lingkaran konsentris buatan inilah yang rentan menjadi perusak masyarakat kosmopolitan, sebab ada ruang kosong dalam kehidupannya yang kelihatan seperti berisi dengan lengkap(maaf kalau saya generalisir).
Konsep utopis versi Hierocles ini mungkin tercapai ketika seluruh manusia benar-benar melebur menjadi satu, tanpa agama dan fanatisme. Namun jika kehidupan tanpa agama, saya juga khawatir manusia hanya akan mengulang mundur sejarah jauh ke belakang. Tidak! Untuk ituah gunanya kita belajar sejarah, agar kita tidak mengulangi kesalahan yang dilakukan nenek moyang kita. Atau mungkin itu akan ditemukan dalam praktek konsep universal-single religion. Atau ini mungkin hanya oxymoron buntu yang tidak akan mungkin dicapai.
Ah..ntah lah, saya tidak tahu jawabannya. Maafkanlah keterbatasan berpikir saya. Yang penting kita sepanjang kehidupan terus berusaha memperbesar ruang toleransi, membuang fanatisme, menghindari mispersepsi terhadap orang lain, memperkaya perspektif dengan menggali kehidupan. Itupun berarti manusia hanya berjalan terus untuk menjauh dari sumber ketakutan, bukan untuk mencapai apa yang diinginkan. Ah, hidup yang sia-sia. Tidakkah menyedihkan jika manusia hanya hidup untuk berlari dari ketakutan?.

0 comments: