Pages

Ads 468x60px

Saturday, August 16, 2014

Membahas tentang Nasionalisme


Nasionalisme, khususnya dalam konteks negara yang pernah mengalami masa kolonial seperti Indonesia, menjadi salah satu topik yang hangat. Ada pendapat bahwa rasa nasionalisme berguna sebagai 'alat' untuk orang-orang dalam perjuangan anti-kolonial, untuk membakar semangat dan memunculkan rasa senasib yang tertindas.
Beberapa ribu tahun yang lalu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok suku di tengah hutan, biasanya kurang dari seratus masing-masing. Para individu dalam suku ini umumnya hanya dikawinkan dengan sesama suku - sehingga gen dari dua individu dalam suku yang sama lebih mirip daripada gen dari dua individu di seluruh suku. Persaingan untuk sumber daya yang terbatas hadir dalam hutan sering menyebabkan perang antar suku, dan dalam perang ini akan masuk akal (masuk akal bagi gen kita) untuk memperjuangkan suku dan bahkan mati untuk itu, karena itu akan berarti kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup gen kita.
Akibatnya perilaku dasar ini sudah dikodekan dalam gen kita. Manusia terus menciptakan afiliasi-afiliasi untuk melindungi kepentingannya. Bentuk pertama dari perlindungan dan kesetiaan biasanya adalah keluarga. Kemudian individu membuat afiliasi semakin besar: suku, pekerjaan, partai politik, bangsa, dan dunia.
Saya pikir, akar dari nasionalisme sudah mengalir dalam darah manusia, menjadi naluri dasar untuk bertahan hidup, pelestarian diri, dan melanjutkan keberlangsungan keturunan. Bahkan spesies  binatang juga menunjukkan 'nasionalisme' dalam bentuknya sendiri.
Sekarang, manusia telah sangat berkembang, namun mungkin tidak begitu banyak berubah (mungkin tidak sama sekali). Gen kita masih mencari "suku" untuk diri sendiri dan terus mencari kelompok. Agama, kasta, ras, ideologi - dan kebangsaan - semua digunakan sebagai bentuk identitas komunal. Salah satu bagian utama berada di sebuah komunitas adalah untuk melihat rasa kesatuan dengan anggota lain dari komunitas dan keberbedaan terhadap komunitas-komunitas lain. Sekaligus ini menyimpan bahaya karena hanya menciptakan dua kelompok yang cenderung mengarah ke pikiran sempit: kita dan yang lainnya, pihak selain kita adalah musuh.
Sekarang, nasionalisme dalam konteks bahan jualan politisi saat pemilu, misalnya isu anti asing, semangatnya tidak berbeda dari fanatisme agama, rasisme atau kasta. Dalam setiap kasus ini, orang-orang berharap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat mereka sendiri, kadang-kadang dengan mengorbankan yang lain. Dan tampaknya bahan jualan politik seperti ini masih laku, padahal tak lebih dari mengobarkan semangat permusuhan. Fakta sejarah menunjukkan tindakan pembantaian massal dan diskriminasi banyak menggunakan nasionalisme sebagai justifikasi.
Setiap orang di dunia adalah individu mementingkan diri sendiri. Kasarnya, semua orang di dunia ini egois dan ingin memaksimalkan keuntungannya. Pemerintah ingin memastikan bahwa orang-orang bekerja untuk membangun bangsa. Warga ingin masyarakat mereka berkembang maju dan ingin semua orang berkontribusi untuk ini sebanyak mungkin, karena masyarakat maju dan bangsa pada akhirnya menguntungkan mereka.
Nasionalisme dalam praktik tak lebih dari bentuk tribalisme kuno untuk melampiaskan perilaku barbar manusia, pengaturan default pada semua spesies sosial. Ini bisa menjadi kekuatan untuk kebaikan seperti dalam membela bangsa di masa perang, tetapi dalam masa damai, kita paling sering mengasosiasikannya dengan arogansi dan agresi. Hanya ada garis tipis antara "Saya bangga siapa saya" dengan "Saya lebih baik daripada Anda ".
Bagi saya, nasionalisme adalah hal absurd, mirip dengan mengatakan “Ayah saya adalah pria terbaik di dunia”, atau “Pacar saya adalah wanita tercantik di muka bumi”. Kita akan menciptakan rasionalisasi dan banyak alasan untuk berkata demikian, tapi klaim kita tentang dia menjadi yang terbaik di dunia tidak tidaklah seserius itu. Namun, orang juga memahami alasan kita untuk mengatakan begitu.
Dirgahayu ke-69 Indonesia!

0 comments: