Pages

Ads 468x60px

Sunday, March 16, 2014

Jokowi Effect : A Drug on the Market


Kontan, 17 Maret 2014

Jokowi berhasil mengubah mood pasar saham Jakarta hanya dalam hitungan jam. Running trade yang penuh dengan warna merah tiba-tiba mendadak hijau. Indeks yang sempat berkubang di zona merah hingga minus 1% di sesi pagi 14 Maret 2014, berhasil berbalik arah melonjak begitu kabar deklarasi Jokowi sebagai calon presiden menyebar di pasar. Indikator pasar saham Jakarta sukses melompat hingga 3,2% di sesi penutupan sore. Dan kejadian itu terjadi di tengah gempuran sentimen negatif dari Ukraina. IHSG berhasil melawan arus pelemahan dalam pasar global dan regional. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah sebagai indikator sovereign risk juga langsung turun 10 basis poin.

Sepanjang pengalaman saya menggeluti pasar modal, hanya ada dua tokoh besar di Indonesia yang mampu menggerakkan pasar saham sangat signifikan. Salah satu tokoh lain yang muncul di kepala saya adalah Sri Mulyani. Saya ingat pada Mei 2010, pasar saham terjun bebas hingga minus 3,81% ketika beliau mengumumkan pengunduran diri dari posisi Menteri Keuangan akibat tekanan politik. Saat itu pasar saham bereaksi negatif dan melakukan aksi jual besar-besaran.

Jokowi yang cenderung lebih disimbolkan mewakili masyarakat kecil, ternyata juga mampu memberikan harapan baru di pasar saham yang  sering dianggap menyimbolkan kapitalisme nan rakus. Jokowi juga ternyata mampu memompa semangat baru ke dunia yang dianggap hanya diisi oleh orang-orang berduit yang tidak punya sense of humanity.

Investor asing juga memberikan reaksi gairah yang luar biasa. Suntikan uang panas dari luar negeri seketika masuk ke dalam sistem pasar saham Indonesia dalam jumlah bersih IDR 7,5 triliun. Dan itu terjadi hanya dalam beberapa jam perdagangan saja.

“Investor tidak membutuhkan hasil Pilpres lagi. Dengan deklarasi Jokowi sebagai calon presiden saja, pasar sudah bisa menebak hasil Pilpres nanti. Bisa dipastikan dia akan menang dengan mudah.” Demikian komentar dari seorang teman sesama portfolio manager. Ini berarti price in ke market akan dilakukan sekarang hingga sebelum Pilpres.

Dalam catatan saya, belum ada sambutan semeriah ini untuk kandidat presiden sepanjang perjalanan bursa saham Indonesia. Sebagai perbandingan, tengok saja ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden tahun 1999. Tepat tanggal 20 Oktober, bursa dibuka pada angka 583. Ketika akhirnya Gus Dur terpilih mengalahkan Megawati, bursa langsung anjlok ke angka 569. Memang terbilang wajar untuk saat itu, mengingat adanya potensi terjadinya keributan akibat pendukung Megawati yang tidak terima dengan kekalahan jagoannya.

Ketika SBY terpilih menjadi Presiden untuk pertama kalinya, tepatnya pada 21 September 2004,  IHSG hanya naik tipis sekitar 0,18%. Sementara tahun 2009 ketika SBY terpilih untuk kedua kalinya, sehari setelah Pilpres, IHSG ditutup hanya menguat tipis 0,03%.

Pesona Jokowi memang luar biasa membius publik saat ini. Jika ada yang berani mengkritik Jokowi secara terbuka, dipastikan orang itu akan berhadapan dengan publik yang sudah terlanjur mencintai Jokowi. Bahkan kaum rasionalis yang saya kenal dengan pandangan-pandangan sinis dan skeptisnya selama ini, seolah-olah kehilangan akal sehat ketika sudah berbicara tentang Jokowi. Tak tampak lagi argumen-argumen yang didasarkan pada fakta. Yang ada hanyalah romantisme ala Eropa abad ke 18. Profil Jokowi memang sudah sukses besar melambung digoreng oleh media massa.

Overreaction pasar saham

Salah satu konsekuensi dari manusia ketika terjun ke pasar modal adalah adanya unsur emosi dari pelaku yang terlibat. Overreaction adalah salah satu fenomena yang menjadi bukti keterlibatan unsur emosional itu. Dalam konsep efisiensi pasar, informasi yang baru muncul tidak akan terefleksi secara tepat dan sempurna ke pasar, akan selalu ada apresiasi yang berlebihan atau kurang terhadap harga sekuritas. Sebelum kemudian pelaku melakukan penyesuain dengan fundamental atau nilai informasi itu.

Berhubungan dengan hipotesis efisiensi pasar, bisa saya katakan bahwa informasi seperti pencapresan Jokowi ini bukanlah suatu tren jangka panjang dalam bursa saham. Pada intinya, semua akan kembali ke fundamental. Namun memang tak ada salahnya jika kita memanfaatkan euforia jangka pendek ini.

Saya kira, pasar juga harus melakukan eksplorasi yang lebih jauh lagi untuk mengetahui bagaimana sudut pandang dan kebijakan ekonomi yang akan dijalankan oleh Jokowi nantinya. Perlu dilihat lebih jauh lagi apakah Jokowi sebenarnya pro pasar atau tidak. Dan yang paling penting, salah satu masalah mendasar dalam ekonomi Indonesia adalah persoalan subsidi BBM. Waktu akan menguji nantinya apakah Jokowi hanya mementingkan populisme semata atau rela mengorbankan popularitas demi kepentingan jangka panjang bangsa. Semoga Jokowi tidak akan mengecewakan publik kemudian.

0 comments: