Pages

Ads 468x60px

Saturday, May 18, 2013

Anomali Pasar Saham dan Bahaya Bubble

Arman Boy Manullang
Pengamat Pasar Modal
Koran Kontan, Kamis, 23 Mei 2013

Ada anomali yang sangat terasa. Perekonomian global dan domestik sudah memberikan sinyal perlambatan. Ancaman inflasi sudah menunggu. Kondisi politik sudah memanas. Defisit neraca perdagangan melebar. Namun pasar saham tak kunjung memberikan sinyal pembalikan arah. IHSG terus menciptakan rekor level tertinggi baru. Semua saham diburu oleh investor yang kelaparan. Beli saham apa saja pasti untung.
Global (Amerika, Eropa, dan Jepang) menjalankan quantitative easing “printing money” policy sebagai solusi instan mengatasi krisis saat kebijakan suku bunga acuan mendekati 0% tidak efektif lagi. Akibatnya dunia kelebihan likuiditas. Kemana lagi larinya kalau bukan ke pasar saham yang menjanjikan return instan. Pasar saham akan menyerap uang sebanyak apa pun.
Dana mengalir ke negara berkembang, yield obligasi pemerintah menurun, konsumsi meningkat, bisnis semakin mudah mendapatkan pendanaan, harga aset keuangan meningkat. Semuanya adalah konsekuensi dari ease monetary policy.
Tampaknya market lebih digerakkan oleh sentimen. Fundamental dan argumen hanya digunakan untuk mendukung sentimen itu. Semua meneriakkan: “Buy! buy! buy!”. Tak peduli bagaimana kualitas aset itu.
Siapa yang menciptakan sentimen? Mereka adalah opinion maker. Ada ekonom, banker, fund manager, analis, media, dan pembuat kebijakan. Mereka yang membentuk konsensus. Mereka yang membentuk suara publik. Sayangnya kebanyakan mereka memiliki kepentingan.
Selebihnya adalah market followers.
Lihat dengan shale gas yang sudah mulai booming. Batubara dan Minyak Bumi yang dulu dipuja-puja, dalam sekejab dimaki bagai tak ada harga.
Siapa yang memulai semua ini? Mungkin mereka yang sudah melakukan investasi duluan. Argumen justifikasi yang sangat logis -- gas lebih ramah lingkungan dibanding batubara, dalam sekejab berhamburan di media.
Reputasi mereka yang berbicara memang sangat baik. Mereka layak dipercaya.
Tapi tunggu dulu. Bukankah analis meneriakkan buy sebelum Enron bangkrut? Bukankan media dan peramal selalu menulis prospek cerah sektor teknologi sebelum era kehancuran saham teknologi? Bukankah produk Lehman Brothers mendapatkan rating AAA sebelum bangkrut?
"Dalam beberapa bulan ke depan saya melihat pasar saham jauh lebih tinggi daripada hari ini." Demikian kata-kata yang diucapkan oleh Irving Fisher, Profesor Ekonomi di Universitas Yale, peraih pertama nobel ekonomi, tepat 14 hari sebelum Wall Street hancur pada Black Tuesday , 29 Oktober, 1929.
Tragis, dia kehilangan 140 juta (dalam dolar setara hari ini) dalam kehancuran pasar saham itu. Fisher adalah manusia jenius, seorang ekonom besar, seorang teoritikus yang sangat baik, salah satu pendiri ekonometrik, dan pelopor dalam analisis angka indeks.
John Maynard Keynes, ekonom Inggris yang paling terkenal, yang sebelumnya mengumpulkan kekayaan di pasar keuangan untuk dirinya dan Cambridge University, kehilangan 156 juta (dalam pound saat ini) dalam kejadian itu.

Myron S. Scholes, peraih nobel ekonomi 1997, salah seorang penemu formula Black-Scholes Equation untuk valuasi instrumen derivative, adalah partner di Long Term Capital Management (LTCM) ketika dilikuidasi akibat kerugian dalam jumlah sangat besar tahun 2000.
Ketika euforia optimisme berganti menjadi pesimisme, hutang yang sebelumnya dijustifikasi optimisme, akan berbalik arah dianggap berbahaya. Kreditor yang awalnya optimis, berubah menjadi panik, kemudian melakukan penyitaan paksa. Semua akan beramai-ramai mengajukan kebangkrutan. Ini adalah cerita klasik dari krisis yang berawal dari keserakahan.
Cerita bubble bukan hal baru di dunia ini: mulai dari The Dutch Tulip Mania 1637, The British South Sea 1922, The Dot-Com Boom 2000, hingga The Subprime Mortgage 2007. Dan semuanya berinti tentang keserakahan manusia.
Oh mengapa memori kita sangat pendek?
Tapi kita harus konsisten. Kita harus siap menghadapi konsekuensi apa yang kita anut. Ini adalah kapitalisme. Res tantum valet quantum vendi potest. Sesuatu hanya berharga ketika seseorang mau membayar untuk itu.
Kapitalisme “invisible hand” akan siap menghukum setiap kesalahan pelaku. Tak peduli siapa dia. Masalahnya, yang dihukum bukan hanya pelaku, bukan pula hanya hingga penonton, awam pun akan ikut dihukum.
Ekonomi memang terkadang sangat misterius. Banyak fenomena yang tidak bisa dijelaskan.
Tidak sulit untuk mendapatkan keuntungan dari pasar saham. Tapi yang sulit adalah mencukupkan diri. Manusia selalu ingin cepat kaya dengan cara yang mudah. Itulah yang selalu menjadi sumber setiap cerita pilu.
Ada joke klasik dalam pasar saham: Ketika ibu rumah tangga dan anak yang tidak memiliki penghasilan sudah ikut bermain saham, itulah tanda-tanda pasar saham akan hancur.
Pasar saham memang selalu menyisakan teka-teki. Dan kita akan terus melakukan rasionalisasi dan justifikasi dalam setiap kejadian.
Mereka bilang sejarah akan selalu berulang dengan sendirinya. Hanya nama, wajah, dan waktunya saja yang berbeda. Dan cerita ini akan terus berlanjut sepanjang manusia tidak mau belajar dari sejarah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai tambahan, ada kutipan menarik dari film Wall Street: Money Never Sleeps.
POOR MAN: I'd like a mortgage... I don't really have any money though... is that cool? 
BANKER MAN: Totally cool. Since housing prices are always going up it won't be a problem.
POOR MAN: You guys are awesome!
GORDON GECKO: You wanna know what the mother of all bubbles was? Us. The human race.

2 comments:

WAYAN SEPON said...

BLOG BYANG BAGUS.MAS....WALLSTRRET DAN KESERAKAHAN MANUSIA.

Arman Boy said...

Terimakasih, Bli..