Pages

Ads 468x60px

Thursday, December 27, 2012

If life isn't about human beings and living in harmony, then I don't know what it's about!


Mayoritas orang berargumen bahwa bila Tuhan sudah ditemukan, maka esensi dari seorang manusia ideal akan kita temukan dalam diri orang yang sudah menemukan Tuhan tersebut --walaupun mungkin memang bukan Utopis--. Namun fakta kehidupan paradoks dengan argumen itu, setidaknya apa yang sudah saya lihat di usia yang masih seperempat abad ini.
Ada orang yang berusaha mencari kesempurnaan secara manusiawi --tetap bukan utopis juga--, baru kemudian mencari Tuhan. Namun kebanyakan keidealan secara manusiawi itu tidak akan pernah berhasil dicapai dan ditemukan, sehingga Tuhan tidak akan sempat ditemukan, mengingat umur manusia yang terbatas. Dan saya lebih memilih untuk menjalani kehidupan seperti ini dibandingkan mencari Tuhan sebagai prioritas.
Kehidupan manusia yang mengenal dimensi waktu dan ruang ini memang sangat aneh menurut standar kenormalan. Kehidupan kita penuh dengan karakter, perilaku, sifat, sikap yang lebih sering paradoks daripada pararel. Dan itu adalah kehidupan itu sebenarnya. Membayangkan kehidupan yang aneh dan paradoks tersebut, saya tidak bisa membayangkan bagaimana peradaban manusia tanpa agama, peraturan, atau etika sosial. Dan inilah alasan yang membuat saya tetap menyadari bahwa kehidupan manusia memang membutuhkan peran agama, tidak lebih dari untuk untuk menjinakkan kebrutalan manusia itu.
Satu bacaan yang paling saya ingat yang selalu mampu mengingatkan saya ketika keliaran sudah muncul adalah doktrin-doktrin dari Thomas Hobbes' Leviathan tentang nature dari kehidupan manusia yang sangat mengerikan: “In such condition, there is no place for industry; because the fruit thereof is uncertain: and consequently no culture of the earth; no navigation, nor use of the commodities that may be imported by sea; no commodious building; no instruments of moving, and removing, such things as require much force; no knowledge of the face of the earth; no account of time; no arts; no letters; no society; and which is worst of all, continual fear, and danger of violent death; and the life of man, solitary, poor, nasty, brutish, and short.”
Namun jangan lupa, semua aturan juga dinamis mengikuti peradaban. Apa yang layak menurut manusia pada 5.000 tahun lalu, mungkin sudah dinistakan dalam peradaban detik ini. Apa yang layak menurut peradaban detik ini, juga mungkin sudah akan dinistakan oleh 100 garis keturunan di bawah kita nanti. Jika saat ini misalnya menikah dengan saudara sedarah adalah tidak layak dan nista, siapa tahu 100 keturunan kita dibawah malah menganggap pernikahan sedarah adalah yang paling ideal.
Satu poin yang saya dapatkan adalah: Kita boleh saja memiliki standar utopis sesuai idealisme masing-masing, namun harus tetap ingat bahwa kita hidup di peradaban yang sekarang. Memperjuangkan idealisme sesuai dengan kebenaran yang dianut juga sah-sah saja, namun kebenaran yang bagaimana? Toh pada sumber muara dari ilmu pengetahuan, kita temukan bahwa kebenaran itu juga adalah hasil dari manipulasi dan rasionalisasi. Toh kebenaran itu juga adalah statistik dan konsensus yang menjadi pemenang, yang sebenarnya juga belum tentu benar menurut minoritas yang tidak mengikuti konsensus.
Jika kita masih memikirkan untuk hidup ideal sesuai dengan seluruh standar, maka sebenarnya kita hidup di dalam dunia mimpi. Kebaikan dan keburukan susah untuk direduksi secara sempurna dalam kehidupan manusia. Walaupun saya menganggap bahwa jahat dan egois merupakan default mode atau factory standard dari manusia ketika terlahir.
Saya percaya bahwa harmonisasi adalah unsur utama kehidupan yang ideal. Prinsip keseimbangan membuat manusia tetap sadar akan eksistensi manusia yang sangat kecil dalam alam semesta ini. Kita tidak perlu menganggap apa yang kita anut sebagai apa yang paling benar, karena memang semua manusia punya kecenderungan menganggap diri sebagai orang yang paling benar. Sebab jika kita tidak menganggap demikian, maka kita tidak akan mungkin memilih untuk menganut apa yang kita anut itu. Dan jika kita masih menganggap diri kita sebagai yang paling benar, berarti kita sama saja dengan miliaran manusia lain di dunia ini.
Dan belajar harmonisasi dan keseimbangan ini bisa kita peroleh dari alam dan seni, ditambah dengan meluangkan sedikit waktu untuk merefleksikan kehidupan. If life isn't about human beings and living in harmony, then I don't know what it's about!

0 comments: