Pasangan
Joko “Jokowi” Widodo dan Basuki “Ahok” Purnama sudah terpilih menjadi pemenang
pilkada DKI versi quick count. Jokowi
memang adalah tokoh fenomenal yang susah untuk dibendung langkahnya. Publik sudah
terlalu menyukai figurnya yang sederhana. Saya tidak tahu apakah karena Jokowi
memang terlalu hebat, atau hanya karena Fauzi Bowo terlalu buruk untuk Jakarta.
Jokowi
memang muncul sebagai anti-tesis dari pemerintahan saat ini. Jokowi mampu menimbulkan
harapan baru untuk warga Jakarta. Figur yang menempatkan diri sebagai tokoh
yang tersakiti, memang cepat mendapatkan simpati dan popularitas di masyarakat
Indonesia. Ini juga yang terjadi dengan Presiden SBY tahun 2004 sehingga popularitasnya
cepat meroket dan terpilih menjadi presiden.
Namun melihat
orang yang ada dibelakang Jokowi, naluri skeptis saya kembali muncul. Kita tidak
boleh lupa, ada dua Partai Politik dan beberapa orang tokoh besar di belakangnya.
Seorang teman jurnalis yang merupakan fans Jokowi, mengatakan kepada saya bahwa
partai atau tokoh tersebut tidak akan mungkin mampu melakukan intervensi kepada
Jokowi selama menjadi gubernur, “Jokowi pasti tidak akan mau!”
Ah saya tidak
setuju dengan pendapat itu, hal itu hanyalah ada dalam konsep masyarakat Utopia
yang diciptakan Thomas More tahun 1516, itu terlalu ideal untuk dunia ini. Kita
terlalu terbuai dengan figur sehingga kehilangan objektivitas. Bukankah
gambaran masyakat Utopis itu hanya dalam bentuk imajiner saja, tidak akan pernah
kita temukan di dunia nyata. Gambaran dimana setiap individu dalam kelompok sosial
terhubung dalam sebuah jaringan membentuk sebuah kecerdasan kolektif.
Kita harus
sadar, dalam setiap revolusi biasanya akan muncul penumpang gelap yang ingin
ikut mencapai ambisi pribadi, kelompok atau golongannya. Saya sudah menyaksikan
sendiri, beberapa pihak sudah mulai ikut menumpang dalam kemenangan Jokowi. Saya
sudah melihat ada Partai Politik yang mengklaim diri ikut menyukseskan
kemenangan Jokowi.
Lihat saja mundur
ke belakang, reformasi tahun 1998 juga ditumpangi oleh beberapa tokoh yang
tidak perlu saya sebutkan namanya. Namun penumpang gelap tersebut mayoritas
saat ini sudah tersisih dengan sendirinya karena memang tidak mendapatkan
simpati dari rakyat.
Suka atau
tidak, sadar atau tidak, semua hal dalam hidup ini adalah tentang kepentingan,
kepentingan yang seharusnya juga dilatarbelakangi uang dan kekuasaan. Hal ideal
yang sempurna mungkin tak akan bisa kita temukan di dunia.
Tokoh yang
ada di belakang Jokowi itu secara hitung-hitungan mungkin memang sangat kecil
peluangnya untuk kembali menjadi pemimpin di negeri ini. Yang satu mungkin
sudah terlalu kadaluwarsa, sedangkan yang satu lagi sudah kehilangan reputasi
karena kerap dihubungkan dengan penculikan dan penembakan aktivis-aktivis dan
mahasiswa tahun 1998, bahkan publik sudah terlanjur menyebutnya sebagai
penjahat kemanusiaan.
Ada banyak
cara untuk menjadi penguasa, tidak harus selalu dengan tampil menjadi pemimpin
di depan. Ada penguasa yang memerintah dibelakang layar dengan menempatkan
tokoh yang dicintai publik sebagai boneka terdepan. Padahal sebenarnya, orang dibelakang
layar itulah yang mengontrol semua kebijakan di belakang.
Apakah
memang Jokowi sudah dipersiapkan untuk hal yang lebih besar lagi di depan? Mungkinkah
Jokowo sudah dipersiapkan untuk pilpres 2014 atau 2019? Bersiaplah untuk
menghadapi tokoh-tokoh fenomenal lain, seperti Dahlan Iskan juga sangat layak
diperhitungkan.
Saya bukan
bermaksud untuk mengatakan Jokowi akan sama saja dengan politisi atau pemimpin
yang lain. Saya hanya sekedar mengingatkan agar kita sadar dan tidak kehilangan
objektivitas. Kita jangan terlena dengan figur yang berhasil menyentuh
emosional manusia. Saya sendiri juga sangat mengharapkan dan mendukung beliau
untuk membawa perubahan kepada Jakarta, namun tetap berusaha berpijak pada
fakta dengan mengesampingkan emosional.
Seorang
penulis realist besar dari Portugal José
Maria de Eça de Queiroz (1840 -1900) berkata: “Politicians and diapers have one thing in common. They should both be
changed regularly, and for the same reason.”
0 comments:
Post a Comment