Kontan, 12 Juni 2013
Perilaku
konsumsi yang tidak terkendali tampaknya sudah mulai merasuki masyarakat
Indonesia. Setidaknya begitulah fenomena yang terjadi terutama di kawasan
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan. Starbucks, Toyota
Kijang, Bioskop 21, Zara, iPhone, Galaxy adalah keseharian masyarakat modern
kelas menengah.
Propaganda
ini sering digunakan mendukung argumen prospek ekonomi Indonesia yang memang
terbukti hingga saat ini. Ekonomi Indonesia berhasil tumbuh positif di tengah
pelemahan ekspor akibat terjangan krisis global dan pelemahan harga komoditas.
Fenomena
Conspicuous Consumption menggambarkan
ini semua. Awalnya Conspicuous
Consumption diperkenalkan oleh Ekonom dan Sosiolog Norwegia-Amerika
Thorstein Veblen dalam bukunya "The
Theory of the Leisure Class" pada tahun 1899.
Terminologi
ini digunakan untuk menggambarkan perilaku orang-orang kaya baru pasca Revolusi
Industri tahap kedua (1860-1914). Orang membeli sesuatu tidak berdasarkan
kebutuhan, namun hanya untuk sekedar dipamerkan atau menunjukkan kelas dalam
masyarakat. Membeli sesuatu hanya untuk membuat orang lain terkesan.
Demikian
pula yang terjadi dengan Indonesia pasca liberalisasi perekonomian dan
demokratisasi. Ekonomi yang stabil telah melahirkan orang kaya baru. Bank Dunia
menyebutkan tahun 2010 ada 56,5% populasi penduduk Indonesia yang digolongkan
kelas menengah. Konsultan Manajemen Global BCG (Boston Consulting Group)
menyebutkan tahun ini ada 74 juta masyarakat kelas menengah Indonesia dan akan menjadi
2 kali lipat tahun 2020.
Mereka
ini berasal dari golongan pekerja (working
class) yang hidup dari mengabdi kepada pemilik modal. Mereka ini adalah
golongan yang tidak memiliki selera, pendirian, dan hanya mengikut arus.
Kebutuhan mereka tidak terpaku hanya pada kebutuhan primer saja, melainkan
sudah beranjak ke kebutuhan sekunder dan tersier. Gaya hidup adalah sesuatu
yang penting bagi mereka. Mereka inilah yang membuat penuh mall setiap hari dan
menghabiskan waktu dengan nongkrong di café.
Salah
satu karakter mereka adalah porsi konsumsi yang tinggi atas jumlah pendapatan.
Konsumsi atas barang dan jasa yang tidak benar-benar dibutuhkan meningkat
tajam. Mereka adalah orang yang lahap menghabiskan berbagai macam fasilitas
kredit yang disediakan oleh perbankan. Mereka juga doyan gonta-ganti gadget.
Bagi
kalangan yang benar-benar mampu, perilaku yang sudah mendekati hedonisme ini
mungkin tidak masalah karena akan berdampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi. Itulah sebabnya dalam masa krisis, pemerintah selalu mendorong
konsumsi masyarakat untuk menyokong pertumbuhan ekonomi.
Namun
masalah sosial timbul ketika ada sekelompok masyarakat yang memaksakan diri
untuk melakukan konsumsi produk ini. Ketika penghasilan tidak mencukupi
pemenuhan gaya hidup, perilaku koruptif akan muncul. Angka kriminal juga akan
meningkat. Masyarakat akan hidup dalam gelimang hutang.
Saya
mengkhawatirkan tingkat pembelian properti dan kenderaan di Indonesia yang
tinggi saat ini bersumber dari uang seperti ini. Lihat saja bagaimana para
pelaku korupsi mencuci uang dengan membeli apartemen, rumah, mobil, dan barang
mewah lain.
Sangat
kontras pula ketika kita menghujat kapitalisme sementara kita menikmati
produknya setiap hari. Mengklaim diri anti kapitalisme sementara kita terbiasa
nongkrong di starbucks. Memuja sistem ekonomi kerakyatan sementara terbiasa
berbelanja di toko peritel modern.
Pertumbuhan semu
Apa
yang dapat kita pelajari dari fenomena ini? Saya tidak bermaksud untuk
mengatakan bahwa konsumsi golongan menengah tersebut adalah buruk. Tidak sama
sekali. Toh mereka itu adalah ujung tombak mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun
saya khawatir pertumbuhan ekonomi seperti ini adalah semu. Jika kita mempertahankan
mindset ekonomi yang didorong
konsumsi, saya kira kondisi riil masyarakat kita akan tetap terkungkung dalam
kemiskinan. Sebab penghasilan yang dimiliki hanya akan dihabiskan untuk
memenuhi kebuasan belanja dan aktifitas menghabiskan tanpa berpikir aktifitas
produksi. Mindset konsumsi harus
diubah menjadi mindset produksi dan
penciptaan nilai tambah ekonomi.
Mungkin
sudah saatnya pula kita mengubah pandangan tentang ukuran kesuksesan ciri khas
negara dunia ketiga: kesuksesan dilihat dari harta kekayaan yang berhasil dikumpulkan.
Kita
sebagai individu perlu memperhatikan porsi investasi atas penghasilan, bukan
sekedar menyisihkan sebagian kecil. Sejatinya konsumsi atas barang sekunder dan
tersier dilakukan ketika kita pendapatan sudah dikurangi dengan konsumsi barang
pokok dan investasi. Namun yang terjadi, orang melupakan investasi demi
mengejar kebahagiaan semu dan pengakuan dari masyarakat.
Dan
tanpa sadar kita hanya akan menjadi sasaran empuk dari pemodal. Pemodal
memberikan gaji, kemudian gaji dikembalikan kepada pemodal melalui konsumsi
yang tidak terkendali. Dengan kata lain, kita akan tetap dalam status mengabdi
kepada kaum borjuis. Konyol sekali.
Sedikit
intermezzo, Pope Franciscus baru saja berkicau tentang ini dalam akun twitter
@pontifex. Dia berkata: “Consumerism has
accustomed us to waste. But throwing
food away is like stealing it from the poor and hungry.”
0 comments:
Post a Comment