Kontan, 17 Mei 2013
Skandal penyalahgunaan
informasi Bloomberg Terminal
menyeruak beberapa hari ini. Isu ini tidaklah main-main sebab layanan ini
digunakan oleh raksasa-raksasa keuangan dunia. Bahkan Gubernur Bank Sentral US
(The Fed) Ben Bernanke menjadi
sasaran penyusupan melalui Bloomberg
Terminal. Siaran berita keuangan CNBC terus memanfaatkan isu ini untuk
menjatuhkan reputasi Bloomberg. Wajar saja mengingat mereka merupakan
kompetitor satu sama lain di divisi media televisi. Skandal ini juga memicu disorotnya kembali isu privasi terhadap informasi-informasi rahasia bisnis.
Skandal ini bermula dari
Goldman Sachs yang mengajukan protes kepada Bloomberg. Goldman menuding jurnalis
Bloomberg memata-matai karyawan Goldman
dengan menggunakan terminal Bloomberg
yang mereka gunakan.
Pada bulan lalu, seorang
reporter Bloomberg Hongkong menghubungi Goldman Sachs dan menanyakan mengapa
salah seorang eksekutif tidak pernah menggunakan mesin Bloombergnya dalam waktu
yang cukup lama. Ini akhirnya menimbulkan kecurigaan bahwa ternyata reporter Bloomberg memata-matai aktifitas eksekutif di Goldman Sachs tersebut.
Yang menjadi masalah adalah
reporter Bloomberg memanfaatkan akses informasi rahasia melalui terminal
tersebut untuk bahan informasi ke media. Padahal sebenarnya layanan Bloomberg Terminal ini adalah divisi
yang berbeda dengan divisi media (televisi dan majalah). Bagaimana mungkin
seorang wartawan televisi Bloomberg memiliki akses terhadap pengguna layanan Bloomberg Terminal?
Bagi anda yang awam, Bloomberg Terminal adalah seperangkat
komputer yang menyediakan data informasi keuangan secara realtime yang tersambung dengan seluruh belahan bumi melalui platform elektronik. Sistem perintah,
monitor, dan keyboard yang digunakan
perangkat ini juga berbeda dengan komputer umumnya. Oleh sebab itu seseorang biasanya
membutuhkan training untuk bisa mengoperasikan.
Perusahaan ini didirikan dan
88% sahamnya dimiliki oleh Michael Bloomberg yang saat ini merupakan Walikota
New York. Michael dulunya adalah seorang investment
banker di Salomon Brothers dan saat ini tercatat sebagai orang terkaya
nomor 7 di Amerika Serikat.
Pemain terminal informasi ini
hanya ada dua di dunia saat ini, yaitu Bloomberg dan Reuters.
Layanan yang satu ini sangat
mahal harganya. Perusahaan menghabiskan dana miliaran rupiah per tahun untuk
mendapatkan layanan lengkap dengan seperangkat komputer yang dipinjamkan.
Seingat saya layanan paling minimalnya harus membayar biaya subscription sekitar Rp 150 juta dan biaya
langganan bulanan sekitar Rp 15 juta per user
account untuk paket yang paling basic.
Peralatan yang satu ini
memang sangat canggih dan menawarkan banyak kemudahan. Dengan sekali klik, kita
bisa mendapatkan informasi keuangan dari New York, London, Frankfurt, Zurich, Hongkong,
Tokyo, atau Singapura. Bahkan dari Jakarta kita bisa berkomunikasi dengan seorang analis di Wallstreet dengan memanfaatkan alat ini. Borderless world!
Saya ingat sekitar 3 tahun
lalu saat masih bekerja di level junior analis, setiap pagi sebelum pasar dibuka,
saya bekerja dengan perangkat ini untuk melakukan update data keuangan dunia dan mengimpor ke dokumen excel untuk kemudian dilampirkan dalam research report yang didistribusikan
kepada nasabah institusi dan ritel.
Bloomberg terminal mungkin adalah
sesuatu yang wajib untuk profesional keuangan. Bank Sentral, otoritas pasar
modal, perusahaan sekuritas, investment
banking, bank komersial, asuransi, dan fund
manager menggunakan platform ini. Saat ini ada lebih dari 315 ribu
pelanggan di seluruh dunia.
Bank Sentral dan otoritas
pasar modal menggunakan layanan ini untuk memantau informasi keuangan dunia. Divisi
treasury di bank menggunakan layanan
ini untuk mengatur transaksi atau lindung nilai (hedging) yang berhubungan dengan currency atau foreign
exchange. Perusahaan asuransi dan fund
manager menggunakan layanan ini untuk memantau portofolio mereka yang
tersebar di seluruh dunia.
Insider information
Isu privacy pun kembali menjadi sorotan saat ini. Pun saya dari dulu
sudah sering memikirkan betapa banyaknya celah untuk mendapatkan informasi
rahasia perusahaan, salah satunya melalui mesin Bloomberg ini.
Di era sekarang ini dimana informasi kebanyakan berbasis teknologi, dipastikan dokumen ada dalam
bentuk digital. Setiap dokumen digital pasti akan meninggakan jejak. Inilah
yang rentan untuk dibajak atau disusupi. Mungkin tidak perlu seorang hacker sejenius Julian Assange Wikileaks
untuk menembus data ini. Cukup seorang anak muda yang tekun, sabar, menguasai
bahasa pemrograman, dan sanggup duduk di depan komputer berhari-hari.
Dan kebanyakan eksekutif
tidak sadar bahwa data yang mereka pegang sangat sensitif dan rentan untuk
dicuri. Akibatnya mereka tidak terlalu memperhatikan permasalahan security. Saya saksikan sendiri
terkadang beberapa data sensitif tidak diproteksi dengan aman dan dengan mudah
bisa saya ambil untuk disalahgunakan.
Berhungan dengan insider information, cara dengan
menyusup melalui jaringan IT mungkin adalah yang relatif lebih sederhana dan
mudah, walaupun mungkin beresiko. Sementara yang terjadi selama ini, perusahaan
lebih banyak memanfaatkan jasa economic/industrial/corporate
espionage yang sangat mahal. Layanan spionase intelijen bisnis pihak ketiga
ini biasanya memanfaatkan karyawan atau orang dalam. Bisa jadi orang dalam
tersebut disuap, atau bisa jadi juga tidak sadar bahwa dia banyak membocorkan
informasi rahasia melalui obrolan-obrolan.
Kompetitor adalah salah satu
pihak yang rentan mencuri informasi. Berbagai cara akan digunakan untuk
mendapatkan informasi pihak lain.
Ini memang adalah wilayah yang
abu-abu dan sering mengundang kritik karena tidak etis. Tetapi itu adalah
praktek dalam dunia nyata. Informasi itu memang sangat mahal harganya. Siapa
yang menguasai informasi, dia akan menjadi pemenang. Semoga kejadian ini bisa
menyadarkan kita akan pentingnya privasi untuk data-data sensitif.
0 comments:
Post a Comment