Salah satu
alasan bagi S&P tak kunjung memasukkan Indonesia ke rating investment grade
adalah adalah permasalahan subsidi energi yang tak kunjung berakhir. Kontras
dengan dengan Filipina yang sudah dimasukkan ke dalam rating layak investasi
BBB-. Pada 2 Mei 2013, S&P mempertahankan status Indonesia di level BB+ dan
menurunkan prospek dari positif menjadi stabil. Dan kebetulan saat ini,
Indonesia sedang meributkan kenaikan harga BBM untuk kesekian kalinya.
Indonesia dan Filipina
adalah sama-sama negara berkembang di Asia Tenggara yang sudah menjalankan
libelarisasi dan reformasi ekonomi dalam beberapa dekade terakhir. Dan hasil
dari liberalisasi itu sudah terlihat dalam sektor ekonomi. Dividen dari liberalisasi
ekonomi sudah dinikmati oleh kedua negara.
Bedanya,
Indonesia masih berjuang dengan masalah struktural sebagai ciri khas negara
berkembang. Sedangkan Filipina melaju terus dengan mantap. Dan sayangnya,
permasalahan di Indonesia ini adalah tentang politik.
Relevansi rating negara
Rating adalah
sesuatu yang sangat penting bagi investor global karena menunjukkan tingkat
kepercayaan mereka terhadap suatu instrumen investasi. Banyak fund-fund asing yang membatasi alokasi
aset harus ke negara-negara yang sudah mendapatkan status layak investasi.
Akibatnya, negara yang tidak memiliki status ini tidak akan kebagian aliran
dana itu. Dan jika suatu negara kehilangan status ini, dipastikan dana yang
sudah terlanjur masuk akan dievaluasi kembali.
Relevansinya ke
suatu negara adalah financing cost.
Semakin bagus rating suatu negara berarti semakin kecil resiko default. Maka beban bunga yang harus
ditanggung negara itu akan semakin mengecil ketika melakukan pendanaan dari
pasar global.
Studi empiris
sudah banyak membuktikan hal ini. Penelitian terbaru yang dilakukan Laura
Jaramillo dan Catalina Michelle Tejada tahun 2011 menunjukkan bahwa status Investment Grade mengurangi financing cost suatu negara secara
signifikan. Penelitian ini menggunakan sampel 35 emerging markets dalam rentang tahun 1997-2010. Hasilnya bahwa
status investment grade mampu
menurunkan spread sebesar 36%. Yang
pada akhirnya akan memicu sentimen positif internasional karena berkurangnya
rasio Utang terhadap PDB suatu negara. Akibatnya aliran dana akan terdorong
masuk dengan basis investor yang semakin terdiversifikasi.
Dan sayangnya di
Indonesia, sesuatu yang liberal dan identik dengan asing itu dicitrakan negatif
oleh publik. Saya sering tidak paham dengan pelabelan ini. Sehingga cara yang
paling gampang untuk populis dan disukai publik di indonesia adalah dengan
membawa isu anti asing.
Kaitan dengan Subsidi Energi
Permasalahan
subsidi energi ini bukan merupakan hal yang baru. Indonesia saat ini menghadapi
ancaman defisit anggaran yang tidak terkendali akibat besarnya subsidi BBM dan
listrik yang membebani APBN. Dan pada akhirnya mengancam posisi neraca pembayaran.
Pemerintah tidak bisa leluasa menjalankan program pembangunan mengingat
terbatasnya ruang anggaran.
Dalam APBN
2013, pemerintah menganggarkan belanja subsidi energi sebesar Rp274,7 triliun
yang terdiri atas subsidi BBM Rp193,8 triliun dan subsidi listrik Rp80,9
triliun. Sedangkan penerimaan negara mencapai Rp 1.529,7 triliun dan alokasi
belanja negara Rp 1.683 triliun sehingga akan ada defisit Rp 150,3 triliun atau
1,65% dari PDB.
Coba kita
bayangkan, angka subsidi yang sangat besar inilah yang sebenarnya menjadi
sumber defisit anggaran. Bahkan angka subsidi BBM sebesar 193,8 triliun jauh
melebihi defisit anggaran yang sebesar Rp 150,3 triliun.
Bank Pembangunan
Asia (ADB) dalam laporan berjudul 2013
Asia’s Energy Challenge sudah mengingatkan hal tersebut. ADB mencatat, pada
2010 hanya 6% dari masyarakat tidak mampu Asia yang menikmati subsidi BBM, 6%
subsidi elpiji, 6% diesel, 9% listrik, 10% gas alam, serta 15% minyak tanah.
Dengan demikian, ketergantungan terhadap energi fosil justru memperlebar jarak
antara kaya dan miskin karena kalangan mampulah yang semakin diuntungkan dengan
subsidi.
ADB juga
mencatat bahwa Asia menjadi kawasan dengan pasokan energi termiskin di dunia. Tanpa
adanya energi alternatif, pada 2035 konsumsi minyak di Asia akan naik dua kali
lipat.
Tidak akan
habis argumen terhadap pro kontra kebijakan pencabutan subsidi energi ini. Yang
pasti, jika Indonesia ingin mampu bersaing di era keterbukaan saat ini, tidak
ada cara lain harus memberikan perhatian lebih terhadap reformasi di sektor
energi. Itu semua adalah tentang kemauan politik, bukan semata-mata logika
ekonomi.
Dan saya rasa
sudah terlambat jika berharap kepada rezim pemerintahan Presiden SBY. Sayangnya
diantara kandidat calon presiden yang sudah mulai memunculkan diri saat ini, belum
ada yang berani memberikan perhatian lebih terhadap permasalahan ini. Mungkin
jika ada calon presiden yang berani mengatakan akan melaksanakan kebijakan
non-populis dengan mencabut atau setidaknya mengurangi ketergantungan terhadap
subsidi energi, saya akan memilihnya. Karena tanpa perubahan radikal pada
sektor energi ini, dipastikan perekonomian Indonesia tidak akan berjalan kemana-mana.
1 comments:
Mantaaap Gan,...Tapi memang kok sebagian besar kepemilikan Energy di indonesia dikuasai Anjing..eh,Asing kok.
Yah,..kasian banget sih Indonesia.
Bangun tidur Loh minum apa ? apa Aqua ? (74% sahamnya milik Danone perusahaan Perancis) atau Teh Sariwangi (100% saham milik Unilever Inggris.) Minum susu SGM (milik Sari Husada yg 82% sahamnya dikuasai Numico Belanda). -Lalu mandi pakai Lux dan Pepsodent (Unilever, Inggris). -Sarapan ? Berasnya beras impor dari Thailand (BULOG pun impor).
#Tepok jidat
Post a Comment