Does history repeat itself? Pertanyaan yang sedikit bernada pesimis ini
mungkin tepat kita ajukan untuk menebak apa yang akan terjadi dengan INALUM.
Kejadian yang terjadi pada Inalum saat ini jelas mirip dengan yang sudah
terjadi pada Newmont Nusa Tenggara (NTT). Dalam kasus Newmont, pemerintah pusat
melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) bersaing dengan konsorsium Bakrie untuk mengambil alih saham hasil
divestasi dari Newmont International.
Sayangnya niat pemerintah dimentahkan oleh proses politik di DPR. Dan Mahkamah
Konstitusi juga ikut mementahkan keinginan PIP karena dianggap tidak konstitusional.
Kita juga masih ingat kejadian perebutan antara Bakrie dengan perusahaan
BUMN PT Tambang Bukit Asam (PTBA) untuk menguasai aset batubara terbesar yang
dimiliki negeri ini, yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC). Dalam kejadian itu,
Bakrie melalui PT Bumi Resources berhasil mengambil alih saham divestasi dari Rio Tinto dan British Petroleum
(BP). Dan perebutan tersebut akhirnya berhasil dimenangkan oleh Bakrie tanpa proses
dan mekanisme yang jelas.
PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) merupakan perusahaan
peleburan (smelter) bahan mentah Alumina menjadi produk turunan ingot dengan kapasitas produksi tahunan
260.000 ton, dan merupakan satu-satunya perusahaan penghasil di Indonesia. Sekitar
60% dari produksi tersebut diekspor ke Jepang dan 40% digunakan untuk kebutuhan
dalam negeri, kontras dengan kebutuhan dalam negeri Indonesia per tahun sekitar
300.000-500.000 ton.
Selain itu, Inalum juga memiliki aset penting dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), yaitu Sigura-gura
dan Tangga. Kedua pembangkit ini mampu menghasilkan tenaga listrik sebesar 426 MW.
Saat ini, 58,9% saham Inalum dikontrol oleh konsorsium perusahaan Jepang
Nippon Asahan Aluminium (NAA), dan sisanya dimiliki oleh pemerintah. Sesuai
dengan kontrak kerjasama, pada Oktober 2013 nanti, konsorsium Jepang wajib
melepas seluruh kepemilikannya (divestasi) kepada pemegang saham dalam negeri.
Melihat nilai strategis yang dimiliki perusahaan ini, sangat wajar jika perusahaan
ini menjadi bahan rebutan bagi orang-orang yang memiliki kepentingan.
Menteri Keuangan Agus Marto jelas berjuang di barisan paling depan untuk
mengambil alih perusahaan ini melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP). Tak
dapat dipungkiri bahwa nasionalisme tokoh yang satu ini sudah tak perlu
diragukan lagi. Agus berani maju ke depan untuk memperjuangkan kepentingan
bangsa, tak peduli dia berhadapan dengan siapa. Indonesia memang membutuhkan figur-figur
seperti Agus yang menunjukkan nasionalismenya dalam tindakan.
Dan tampaknya Agus tidak ingin mengulangi kesalahan yang pernah
dilakukannya ketika ingin mengambil alih Saham Newmont yang terhambat oleh
proses politik di DPR. Agus saat ini sudah maju selangkah dengan berhasil mengamankan
alokasi anggaran sebesar IDR7 triliun dana yang disiapkan untuk mengambil alih
Inalum. Dana sebesar IDR5 triliun akan diambil dari APBN 2013, dan IDR2 triliun lagi dari APBN 2012.
DPR telah menyetujui anggaran pemerintah pusat ini melalui mekanisme
budget. Agak mengejutkan memang bila DPR menyetujui proposal yang diajukan oleh
Agus ditengah citra buruk Badan Anggaran DPR saat ini. Namun belum jelas apakah anggaran tersebut akan digunakan pemerintah
melalui PIP atau bukan.
Meneg BUMN Dahlan Iskan juga pernah mengemukakan ketertarikannya untuk
menguasai Inalum, melalui bendera perusahaan-perusahaan BUMN yang berhubungan
dengan sektor itu. Dahlan menyatakan bahwa BUMN siap mengambil alih saham
divestasi dan saat ini sudah memiliki ketersediaan dana yang cukup.
Kekuatan besar paling potensial lain yang berminat menguasai adalah PT Toba
Bara Sejahtra yang dikendalikan oleh mantan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
yang merupakan tokoh terkenal di Sumatera Utara, Jendral (Purn.) Luhut Panjaitan.
Luhut menggandeng pemerintah provinsi dan beberapa pemerintah kabupaten di wilayah Sumut untuk menguasai Inalum, bahkan
mereka sudah menandatangani MoU sejak dua tahun lalu.
Manuver dari Luhut ini mirip dengan apa yang dilakukan Bakrie terhadap
Newmont. Bakrie menggandeng pemerintah daerah untuk membentuk konsorsium
mengambil alih saham divestasi Newmont. Dan kebetulan atau tidak, Luhut dikabarkan
juga mempunyai kedekatan khusus dengan Bakrie. Toba Bara sendiri juga bermarkas
di gedung milik Bakrie di daerah Kuningan, Jakarta. Luhut memang selalu menolak
rumor yang mengatakan afiliasi bisnisnya dengan Bakrie. Namun dalam bisnis, apa
yang diutarakan ke media sering berbeda dengan kenyataan.
Berbagai perusahaan asing lain dari China, India, dan Jepang dikabarkan
juga ikut meramaikan persaingan. Misalnya National Aluminium Company (Nalco) yang
merupakan produsen aluminium asal India sudah menyatakan siap membeli saham
Inalum.
Konsorsium Jepang Nippon Asahan Aluminium (NAA) tersebut juga masih
berminat untuk melanjutkan atau memperpanjang kontrak kerjasama dengan
pemerintah Indonesia hingga melewati 2013.
Hal menarik lain dari kompetisi ini adalah adanya ajang adu kekuatan
politik yang akan berlangsung dalam waktu dekat ini. Pemilihan presiden akan
berlangsung tahun 2014. Dan yang lebih dekat lagi, pilkada Gubernur Sumatera
Utara akan berlangsung tahun depan. Bukankah politik itu biasanya membutuhkan
dana besar? Ya, aroma uang memang sudah mulai terasa.
Pertanyaan diawal tadi mungkin sudah bisa kita jawab sekarang, sejarah memang biasanya akan selalu berulang, namun dengan wajah dan nama yang berbeda. Semuanya adalah
tentang kekuasaan, uang, dan keserakahan manusia.
Memang masih terlalu dini untuk menyimpulkan saat ini. Yang jelas saya tidak akan pernah kehabisan cerita tentang berbagai kesalahan
yang dilakukan bangsa ini dalam mengurus sumber daya dan aset-aset
strategisnya. Medan pertempuran masih panjang dan genderang perang baru saja
ditabuh. Mari kita duduk manis untuk menonton permainan tikus-tikus dan orang-orang
berdasi.
1 comments:
nice thread bro
keep posted
Daniel
Post a Comment