Para
tukang ramal saat ini sedang menggembor-gemborkan kemunculan negara-negara Asia
sebagai pusat kekuatan global yang baru, termasuk Indonesia, menggantikan kekuatan
Amerika dan kemapanan negara-negara Uni Eropa. Selama ajang World Economic Forum di Davos, Asia
Tenggara menjadi bahan perbincangan dan menarik perhatian banyak forum diskusi.
Kalau
kita melihat ke belakang, titik kebangkitan Eropa dimulai dengan Revolusi
Industri yang terjadi di Inggris (1760), yang diikuti oleh bersinarnya
negara-negara Eropa Barat yang lain. Saat itu, seluruh dunia berkiblat ke benua
tersebut. Seluruh dunia tercengang dengan proses industrialisasi yang terjadi. Mekanisasi
dalam proses manufacturing
memunculkan transformasi dari tenaga manusia ke mesin, membuat pekerjaan jadi efisien.
Berikutnya pusat peta global berpindah ke negara superpower
Amerika Serikat. Penguasaan Amerika akan komputerisasi menjadi kata kuncinya.
Kemampuan inovasi mereka dalam bidang keuangan yang merupakan praktek dari
kapitalisme, juga membuat mereka menjadi kiblat dunia.
Dan
Eropa, pada era kebangkitan Amerika tersebut, pun sudah sangat mapan dan stabil
dengan tingkat kemakmuran masyarakat yang sangat tinggi. Ketimpangan pendapatan
(income disparity) sangat kecil di
kawasan Eropa. Mayoritas negara Eropa memiliki Gini Coefficient dibawah 30.
Peta
kemudian mulai berubah pada saat ini. China, India, Brazil, dan Indonesia
diramal akan muncul sebagai raksasa ekonomi dunia. Sumber Daya Alam yang
melimpah dan jumlah penduduk yang besar menjadi kekuatannya. Sementara Eropa
tinggal menyisakan harapan kepada Rusia-yang menurut saya juga sebenarnya tidak terlalu Eropa.
Saya
tertarik untuk memikirkan hal tersebut. Apa penyebab terjadinya perpindahan kekuatan
pada setiap era? Pada zaman awal munculnya peradaban manusia modern juga begitu, kekuatan selalu
berpindah dari wilayah satu ke yang lain. Peradaban Mesopotamia tidaklah
bertahan selamanya, demikian juga dengan peradaban Mesir, Romawi, dan Yunani. Puncak kejayaan mereka tinggal sisa-sisa hingga saat ini.
Jawabannya
menurut saya adalah kekuatan dari konsensus. Konsensus saya maksudkan disini
adalah apa yang menjadi kesepakatan bersama secara mayoritas, dan dianggap
sebagai jawaban atau metode terbaik. Mungkin ini adalah sisi aplikasi dari
demokrasi musyawarah untuk mufakat yang tidak terlalu kita sadari.
Inilah
yang terjadi dengan Indonesia saat ini, semua pihak sepakat bahwa Indonesia
akan menjadi kekuatan ekonomi dunia di masa depan. Lembaga-lembaga rating
memasukkan Indonesia ke dalam Investment Grade. Orang-orang yang berkelebihan
dana beramai-ramai memasukkan dana ke Indonesia, dengan harapan akan memberikan
imbal hasil yang spektakuler.
Kalau
memang alasannya adalah kekuatan SDA dan dukungan demografi yang kuat, bukankah
Indonesia memang sudah dari dulu kaya dengan SDA dan memiliki penduduk yang banyak?
Lantas kenapa baru sekarang mereka menggembor-gemborkan hal tersebut.
Bersukurlah
kita memiliki sosok Gita Wirjawan yang hebat, seorang mantan Investment Banker dari JP Morgan, dengan pergaulan dan perspektif
yang sangat global, dan dengan kemampuan marketing yang luar biasa. Beliau
berusaha keras mengenalkan negara kita di mata dunia internasional. Beliau membuat negara kita sejajar dengan negara maju lain di forum internasional. Tentu
dengan dukungan skor TOEFL diatas 600. J
Nah
sekarang pilihan ada di kita, apakah akan mengikuti arus pergerakan global
tersebut atau tetap bertahan dengan status kita yang ada selama ini. Kalau saya
sih lebih memilih untuk mengikuti arus permainan, dan memanfaatkan momentum
tersebut untuk kemajuan.
Karim
Raslan, seorang pimpinan saya, yang juga chairman
the World Economic Forum Global Agenda Council on Southeast Asia, berkata “You
can be everybody’s golden boy one minute and a pariah the next. But that’s how
the world turns”. Mari kita pikirkan bersama-sama.
0 comments:
Post a Comment