Sekarang ini negara
kita sedang gonjang-ganjing mengurusi masalah subsidi BBM, yang menurut saya
saat ini sudah lebih kuat unsur politis daripada ekonominya. Isu ini sudah
ditunggangi oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuannya. Semua orang
berlomba-lomba memberikan opininya. Para ekonom juga memberikan pendapat yang
berbeda-beda, dan semuanya diterangkan dengan logis dengan menyajikan data-data.
Membuat rakyat awam yang tidak mengerti apa-apa menjadi bingung. Saya tidak akan membahas tentang pro-kontra ini, saya hanya membahas hal lain dibalik subsidi ini.
Sebenarnya ide
pencabutan subsidi, terutama untuk BBM, itu berasal dari World Bank. World Bank pernah
mengeluarkan report pada tahun 2006
dengan judul “Public Policy for The Private Sector - Phasing Out Subsidies”.
Dalam report tersebut, World Bank merekomendasikan pencabutan
subsidi BBM secara bertahap oleh negara-negara berkembang. Mereka berargumen bahwa subsidi BBM akan
akan menimbulkan biaya yang sangat tinggi terhadap fiskal dan peningkatan utang
publik.
Hal tersebut
berarti bahwa Bank Dunia menginginkan pasar minyak harus dilepas ke mekanisme
pasar, tidak dibutuhkan lagi intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi. Sesuai
dengan pemikiran teori modern
neoclassical economics, ekuilibrium harga dan kuantitas yang terbentuk pada
pasar persaingan kompetitif mungkin adalah merupakan yang paling efisien,
alokasi sumber daya pada kondisi tersebut akan terjadi dengan sempurna.
Mari kita bayangkan
argumen dari World Bank tersebut.
Dalam pasar persaingan kompetitif, harga yang terbentuk dalam titik ekuilibrium
itu adalah sama dengan biaya produksi (p =
c). Biaya (cost) dalam hal ini
sudah termasuk keuntungan minimal yang harus diperoleh oleh produsen agar tetap
mampu berproduksi.
Ketika jumlah
permintaan meningkat, berarti harga adalah turun. Karena harga dalam persaingan
kompetitif sama dengan cost, maka
berarti harga akan turun di bawah cost ketika
permintaan naik . Jika harga sudah
turun dibawah cost, maka produsen
tidak akan mampu lagi berproduksi karena merugi. Berarti dalam hal ini produsen
akan dirugikan sehingga kesejahteraan ekonomi tidak akan terjadi.
Bila kita berikan skenario
kebalikan, misalkan jumlah permintaan menurun, maka berarti harga sedang naik.
Karena harga sudah berada diatas ekuilibrium pasar kompetitif yang seharusnya,
maka kesejahteraan ekonomi juga tidak akan tercapai. Dalam hal ini, berarti argumen World Bank bahwa pencabutan subsidi akan meningkatkan kesejahteraan
ekonomi adalah tidak masuk akal.
Kesejahteraan
ekonomi hanya akan meningkat ketika peningkatan jumlah permintaan tidak
disertai dengan penurunan harga dibawah cost.
Oleh sebab itulah, subsidi dari pemerintah sangat diperlukan untuk untuk
menahan harga ketika jumlah permintaan sedang naik ataupun turun. Dengan
demikian, social welfare akan tetap
terjaga mengalami peningkatan.
Tapi itu hanyalah
logika sederhana saya berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Yang pasti,
orang-orang World Bank adalah lebih
pintar dari saya. Mungkin ada beberapa faktor lain yang mereka masukkan, yang
mungkin diluar pengetahuan saya. Atau memang sebenarnya mereka mengeluarkan
suatu rekomendasi kebijakan adalah hanya untuk kepentingan pihak tertentu.
Mudah-mudahan tidak demikian. Saya tidak mau berpikiran terlalu konspiratif. :p
0 comments:
Post a Comment