Perhelatan pilkada DKI memang belum berakhir, tetapi kita sudah dapat
menarik satu gambaran umum dari hasil pada putaran pertama ini. Kemenangan
Jokowi di putaran pertama, dengan selisih sekitar 9% dengan incumbent Fauzi Bowo, memberikan satu
pelajaran untuk masyarakat Indonesia. Memang hasil tersebut masih merupakan
perhitungan quick count oleh lembaga survei,
namun saya rasa tidak lah terlalu premature
jika kita langsung menarik kesimpulan dari hasil ini.
Ternyata figure yang disukai masyarakat
sekarang adalah sosok yang bisa menempatkan diri merakyat, sederhana, dan tidak
terikat dengan birokrasi. Itulah sosok yang ada pada diri Jokowi. Dan
masyarakat juga tampaknya sudah tidak terlalu terikat dengan kekuatan partai,
mereka lebih melihat ke sosok personal.
Hal itu terbukti dengan perolehan suara Alex Nordin dan Hidayat Nurwahid yang
sangat rendah, di luar dugaan para analis dan pengamat.
Dari sini juga kita bisa menebak gambaran pemilihan calon Presiden 2014
nanti. Sangat besar peluang Dahlan Iskan untuk terpilih menjadi Presiden,
melihat image-nya yang mirip dengan
Jokowi. Tampaknya figure yang hebat,
pintar, cerdas, high-profile, dan
santun, tidak terlalu mendapat tempat lagi di hati masyarakat. Kecuali ada
perubahan peta politik dalam setahun ke depan, yang memaksa kita harus mengubah
semua asumsi yang ada.
Hal yang menarik dari pesta demokrasi ini adalah angka golput yang masih
tinggi. Lembaga Survei Indobarometer mengatakan bahwa jumlah golput sekitar
37,05% dari total jumlah pemilih, naik 2% dibandingkan pilkada DKI 2007. Sangat
mengejutkan memang, padahal pemilih sebenarnya nyaris tidak memiliki alasan
lagi untuk tidak memilih. Toh, pasangan calon yang ada sudah cukup mewakili
semua golongan masyarakat. Jika mereka tidak senang dengan calon dari partai, ada
pilihan calon Independen.
Saya teringat dengan penggolongan masyarakat kapitalis menurut Karl Marx.
Ada satu golongan masyarakat yang disebut dengan middle class, golongan ini letaknya dibawah kaum Borjuis dan diatas kaum Proletar. Golongan kelas menengah ini
sangat menarik pembahasan pengikut teori Marxist.
Beberapa tahun belakangan di Amerika Utara, dikatakan bahwa golongan kelas ini
menurun, namun di Indonesia tren yang ada adalah peningkatan. Bank Dunia
menyebutkan bahwa ada sekitar 56,5% dari populasi penduduk Indonesia yang
digolongkan ke dalam kelas menengah.
Sesungguhnya golongan ini merupakan penyakit atau musuh untuk perubahan.
Mereka ini suka dengan status quo,
jangan harapkan mereka untuk melakukan suatu revolusi. Golongan kelas ini lah
yang banyak tidak memberikan suara, mereka cenderung apatis secara politik.
Mereka cenderung tidak banyak bersuara, prinsip mereka adalah yang penting
kehidupan mereka tidak diganggu, yang penting masih bisa hidup berkecukupan.
Salah satu karakter mereka adalah tingkat konsumsi yang tinggi. Golongan
inilah yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, terlihat dengan dengan
tingkat konsumsi domestik Indonesia yang sangat tinggi. Bila kita lihat ke dalam
struktur PDB Indonesia, sekitar 65% adalah berasal dari konsumsi. Mereka inilah
yang membuat penuh mall setiap hari.
Mereka inilah yang senang menghabiskan waktu dengan nongkrong di café.
Saya tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa golongan menengah tersebut
adalah buruk, tidak sama sekali. Toh mereka itu sangat berguna untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mereka lah orang yang dengan lahap menghabiskan
berbagai macam fasilitas kredit yang disediakan oleh perbankan, terutama kredit
kepemilikan rumah dan kenderaan. Mereka lah yang doyan gonta-ganti gadget.
Jadi, jika anda ingin berbisnis di Indonesia, silahkan lirik pangsa pasar
kelas menengah ini. Silahkan sasar berbagai kebutuhan mereka. Consumo Ergo Sum! (I Consume, Therefore I’m!).
0 comments:
Post a Comment