Tadi pagi saya melihat
beberapa media cetak mengangkat headline
tentang depresiasi yang terjadi pada nilai Rupiah terhadap Dolar, sehingga BI
mengeluarkan instrumen kebijakan baru yang disebut dengan Term Deposit Dollar. Kebijakan ini bertujuan untuk mencegah mengeringnya likuiditas Dolar di pasar. Kemudian saya coba melihat running trade Rupiah terhadap Dolar di
monitor saya, sedikit kaget melihat bahwa ternyata posisi kurs tengah nilai
tukar sudah di angka 9.475, berarti sudah melemah lebih dari 4% dibandingkan
awal tahun. Saya juga melihat nilai produk turunan dari Rupiah (NDF) bahkan
sudah mencapai 9.700 di Singapura.
Saya sebenarnya sudah lama
tidak mengikuti perkembangan pasar
keuangan, karena sekarang lebih banyak berkutat di market sektor riil dan
perkembangan nasional serta geo-politik. Bahkan seorang teman berkata: "Si Boy sudah lupa dengan habitat-nya!". Saya mencoba bertanya tentang apa yang sedang terjadi dengan nilai
Rupiah, kepada beberapa rekan lama yang masih berkutat di sektor keuangan.
Salah seorang teman mengatakan bahwa penurunan ini hanya bersifat shock depreciation untuk waktu pendek
akibat ulah dari spekulan asing di Singapura, kami biasa menyebut spekulan ini
dengan istilah BD atau bandar. Mereka inilah yang sanggup menggoyang nilai
tukar mata uang, pasar saham, bahkan hingga perekonomian suatu negara, dengan
menggunakan kekuatan modal yang mereka miliki.
Cara mereka sekarang
menggoyang nilai tukar Rupiah adalah melalui produk turunan (derivative) yang mereka ciptakan sendiri
di Singapura -disebut dengan istilah Non-Delivery Forward (NDF)- karena Rupiah
tidak boleh diperdagangkan di luar Indonesia. Spekulan tersebut mengambil
posisi short untuk instrumen NDF, dan
kemudian meng-cover dengan mengambil
posisi long untuk aset dalam
denominasi Rupiah yang bersifat short
term juga, yaitu instrumen Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
Bagi orang awam memang ini
sulit dipahami karena sangat teknis. Inti dari transaksi yang dilakukan ini
adalah spekulan tersebut akan diuntungkan jika nilai Rupiah melemah karena
nilai NDF akan naik. Karena kondisi global sedang memburuk, mereka
memanfaatkannya dengan menjual instrumen SPN yang dimilikinya dan membawa Dolar
kembali ke negaranya, sehingga suplai Dolar menipis di Indonesia, yang pada akhirnya
berakibat pada pelemahan nilai Rupiah. Akibatnya nilai NFD akan meningkat di
Singapura sehingga spekulan tersebut mampu menciptakan keuntungan dalam waktu
singkat. Menggiurkan bukan?
Saya melihat untuk jangka
menengah, sepertinya memang akan ada tren pelemahan pada nilai Rupiah mengikuti
pelemahan yang terjadi pada nilai Euro. Dollar masih merupakan instrumen yang
dipercaya orang saat ini, akibat krisis yang kembali meningkat di Eropa. Krisis
Eropa belum menunjukkan jalan keluar, bahkan wacana untuk mengeluarkan Yunani
dari Uni Eropa semakin meningkat. Logikanya memang sederhana: Yunani yang
mengalami krisis, tetapi kenapa seluruh Eropa ikut merasakan dampak negatifnya,
yaitu akibat pelemahan nilai mata uang Euro yang mereka miliki bersama. Apalagi
Presiden Prancis yang baru terpilih adalah berasal dari Partai Sosialis yang
kemungkinan tidak pro dengan pasar terbuka. Jadi tekanan semakin kuat untuk mengeluarkan
Yunani dari zona mata uang Euro.
Dan kelihatannya BI juga sangat
enggan untuk melakukan intervensi moneter dengan membanjiri Dolar ke pasar. Instrumen
moneter operasi pasar terbuka ini memang sangat beresiko karena dapat menggerus
cadangan devisa (FX reserve)
Indonesia. Seperti yang terjadi pada tahun 2011 lalu, BI menghabiskan cadangan
devisa hingga USD14 miliar (sekitar IDR126 triliun) hanya untuk menahan nilai
Rupiah sebesar 1%. Bayangkan berapa banyak yang akan dihabiskan untuk menahan
penurunan hingga 4% yang sudah terjadi saat ini.
Belum lagi dengan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini, terutama dalam
mengatur investasi asing di Indonesia. Kebijakan ini berpotensi membuat asing
pulang kembali ke negaranya membawa instrumen Dolar yang dimilikinya. Ditambah
lagi dengan pemilihan presiden 2014 yang kemungkinan akan memanas, ini akan
sangat kontra produktif dengan stabilitas Indonesia.
Jadi sebenarnya sangat banyak
alasan yang membuat proyeksi ekonomi Indonesia cenderung negatif ke depan.
Alasan paling utama adalah karena memburuknya perekonomian Eropa, ini mungkin
adalah hal negatif yang ditimbulkan oleh integrasi perekonomian Indonesia
terhadap perekonomian global. Ditambah lagi kondisi internal yang kemungkinan
akan tidak stabil secara politik. Satu hal yang masih bisa menolong perekonomian
Indonesia adalah, kuatnya konsumsi domestik. Mari siap-siap menghadapi
kemungkinan terburuk!
0 comments:
Post a Comment