Pemerintah
baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No 07 tahun 2012 tentang
Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian
Mineral. Inti dari peraturan ini adalah pelarangan ekspor 65 jenis bahan
tambang mineral, produk mineral tersebut harus diolah hingga tahapan dengan
spesifikasi tertentu sebelum bisa
diekspor ke luar negeri. Satu poin yang paling saya tangkap dari regulasi ini
adalah, negara kita sudah cukup percaya diri terhadap kekuatannya sendiri.
Kebetulan
saya sedang mencoba melihat-lihat data salah satu bahan mineral diantara yang
65 tersebut, terutama berhubungan dengan ekspor, yaitu Bauksit. Temuan saya
yang pertama sangat mencengangkan, ternyata 100% bauksit Indonesia adalah untuk
tujuan ekspor, dan 80% dari ekspor tersebut ditujukan ke China. Sementara
Indonesia sendiri memiliki pabrik peleburan bauksit INALUM, yang bahan mentah
bauksitnya justru diimpor dengan harga yang lebih tinggi.
Tahun
2011, ESDM mencatat produksi bauksit sebesar 8,25 juta metrik ton, dan
keseluruhannya diekspor. Karena 80% diekspor ke China, berarti ada sekitar 6,6
juta ton bauksit Indonesia di pasar China. Namun ketika saya coba melihat data
impor China, tercatat impor bauksit sebanyak 45 juta ton, dan 80% atau sekitar
36 juta ton berasal dari Indonesia. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan
antara ekspor ke China yang dicatat Indonesia dengan impor dari Indonesia yang
dicatat oleh China, Indonesia mencatat ekspor 6,6 juta ton, China mencatat
impor 36 juta ton. Selisih yang tidak tanggung-tanggung besarnya, hampir 5,5
kali dari yang dicatat Indonesia.
Saya
berpikir kok bangsa kita ini sangat aneh ya. Ini pemerintah tidak tahu atau
pura-pura tidak tahu. Lantas darimana China memperoleh selisih sebesar itu?
Tentu itu adalah ulah pengusaha pertambangan yang tidak melaporkan produksi dan
ekspornya, tentu mereka juga tidak membayar royalti ke pemerintah, yang tentu
pula harus diganti dengan suap kepada oknum-oknum.
Permasalahan
seperti inilah yang mungkin akan bisa diatasi dengan keluarnya regulasi ekspor mineral
ini. Belum lagi multiplier effect
yang ditimbulkan ke perekonomian Indonesia dengan pembangunan pabrik pengolahan
bahan mineral (smelter) di Indonesia. Lapangan kerja pasti juga akan meningkat.
Dan,
resistensi sudah muncul dari kalangan LSM, media, aktivis, politisi, dan
aparat-aparat yang dirugikan oleh keluarnya peraturan ini. Sebentar lagi kita
akan melihat panggung publik, terutama media, akan ramai menolak peraturan ini
dengan seolah-olah pro buruh, pro tenaga kerja, pro kepastian usaha, dll.
Padahal mereka ini adalah orang-orang bayaran untuk mengamankan kepentingan
pengusaha kotor. Opini publik akan
digiring oleh media untuk melakukan penolakan. Kita lihat saja apakah
pemerintah nanti akan sanggup untuk menahan tekanan publik, tentu dengan resiko
kehilangan popularitas.
Apakah
kita ingin Indonesia mengalami kejadi seperti yang dialami Australia? Kevin
Ruud diturunkan dari kursi Perdana Menteri karena mengeluarkan kebijakan yang
tidak populis, yaitu berencana menaikkan pajak tambang hingga 40%.
Popularitasnya turun drastis karena tekanan dari media, media yang tentu
dibiayai oleh konglomerat-konglomerat pengusaha pertambangan yang dirugikan bila
regulasi tersebut dikeluarkan. Mari kita pikirkan sendiri!
0 comments:
Post a Comment