Sentimen anti asing semakin meningkat belakangan ini di Indonesia,
khususnya dalam bisnis. Entah kenapa, sebagian masyarakat kita sangat alergi
dengan asing, alasannya saya tidak tahu. Atau memang tidak ada alasan untuk
itu?
Ada dua sektor utama yang menarik perhatian saya belakangan ini, terutama
berhubungan dengan sentimen anti asing tersebut, yaitu: perbankan dan
pertambangan. Pada dua sektor tersebut, gejala deliberalisasi mulai kelihatan.
Pemerintah juga terlihat sudah serius untuk membenahi sektor ini. Untuk hal
ini, saya memberikan apresiasi terhadap peran media dalam pembentukan opini publik
yang mengusung semangat nasionalisme. Walaupun memang pemberitaannya sama
sekali tidak berimbang.
Keseharian saya banyak berdekatan dengan sudut pandang orang asing, mereka
adalah investor potensial yang sedang melakukan penjajakan untuk berinvestasi
di Indonesia dan investor yang sudah existing
berbisnis di Indonesia. Karenanya, saya bisa mengetahui sudut pandang
mereka terhadap Indonesia. Namun di sisi lain, darah saya adalah Indonesia.
Saya juga merupakan seorang Warga Negara Indonesia. Saya mengalami sedikit dilema
dalam menghadapi paradox ini.
Bila dilihat dari fundamental investasi, dua variable utama yang paling
penting adalah return (keuntungan)
dan risk (resiko). Untuk potensi return berinvestasi di Indonesia, kita tidak
perlu bahas lagi. Saya rasa kita sudah sepakat bahwa margin berbisnis di Indonesia itu masih sangat tinggi bila
dibandingkan negara-negara lain. Kita bandingkan saja dengan negara tetangga
seperti Malaysia dan Singapura yang pertumbuhan bisnisnya cenderung sudah stagnan. Berbisnis di negara-negara
tersebut cenderung sudah sangat ketat dalam hal persaingan sehingga margin yang diperoleh juga sudah tipis.
Itulah yang menjadi alasan kenapa Indonesia dilirik oleh investor yang punya
modal.
Resiko adalah permasalahan utama dalam berbisnis di Indonesia. Karena
Indonesia adalah negara yang sangat kompleks, potensi resikonya sangat besar.
Baru beberapa saat Indonesia mendapat rating investment grade dari Fitch dan Moody’s, sudah muncul berbagai masalah yang membuat investor asing
kembali mempertanyakan status tersebut. Demo buruh di berbagai tempat yang
terjadi tentu masih kita ingat, ini sangat kontras dengan rating investment grade. Stabilitas negara juga
sempat goyang akibat isu subsidi BBM yang maju mundur. Bahkan sampai sekarang
isu ini masih terus panas, pemerintah belum mampu memberikan keputusan yang
solutif. Tidak heran jika S&P membatalkan rencana untuk memasukkan
Indonesia juga ke dalam rating Investment
Grade.
Berhubungan dengan resiko, sebenarnya yang paling dibutuhkan investor
adalah kepastian, sehingga mereka dapat mengukur resiko yang akan mereka
hadapi. Sayangnya di Indonesia,
ketidakpastian itu juga merupakan bagian dari resiko. Pemerintah belum
mampu memberikan stabilitas di Indonesia. Ini yang membuat para investor asing itu selalu
berpikir keras dulu sebelum berani memasukkan dana hingga miliaran dolar ke
Indonesia.
Kalau kita mau berpikir realistis dengan mengesampingkan
kepicikan berpikir yang mengusung isu nasionalisme, kita sangat membutuhkan keberadaan
investor asing itu. negara kita belum memiliki likuiditas yang cukup untuk
mengelola kekayaannya.
Saya jadi teringat dengan kasus takeover
saham Danamon oleh DBS Group. Publik ramai mendengung-dengungkan isu
nasionalisme yang tidak relevan menurut saya. Toh transaksi tersebut adalah
perpindahan kepemilikan dari asing terhadap asing, jadi tidak ada perpindahan
kepemilikan dari lokal ke asing. Ini transaksi juga nilainya sangat besar,
sekitar USD 7,2 miliar. Memang ada investor lokal yang sanggup membeli Danamon
senilai itu? Sedangkan Bank Mutiara milik LPS saja tidak ada investor lokal
yang mau membeli, padahal nilainya tidak sampai USD 1 miliar, terlepas dari
bank tersebut memang adalah bermasalah. Kita memang perlu belajar untuk lebih realistis, kita
harus mampu mengukur kemampuan kita sejauh mana.
Saya sering mendengar orang mengatakan agar kita jangan terlalu
menganggap asing lebih hebat dari kita. Saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Dengan rendah hati, terpaksa harus kita
akui bahwa mereka jauh di depan kita dalam banyak hal. Kita perlu banyak
belajar dari kemajuan yang sudah mereka rasakan. Adalah sangat naif jika kita
meniadakan hal tersebut atas nama keangkuhan kita sebagai bangsa yang katanya
besar dan kaya.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab negara kita tertinggal dalam banyak
hal. Dari dahulu, pemikiran kita
dicekoki dengan paham bahwa Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Ini
membuat bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang pemalas karena menganggap diri
sudah kaya. Toh tanpa bekerja keras juga kita masih bisa bertahan hidup.
Jepang tumbuh menjadi negara yang maju karena mereka sadar bahwa negara mereka
adalah negara yang susah. Mereka butuh kerja keras walaupun hanya untuk sekedar
dapat bertahan hidup.
Kembali ke topik awal, lantas apakah kita harus membebaskan asing untuk
menguasai Indonesia? Bukan seperti itu juga yang ideal menurut saya. Sampai
sekarang saya masih menganggap bahwa titik ideal dalam segala hal itu adalah
ketika kita mencapai titik keseimbangan atau balance. Berarti dalam hal ini, pola yang ideal adalah ketika
kekuatan atau porsi antara berbagai pihak itu seimbang. Nah yang menjadi
permasalahan sekarang adalah, seperti apakah yang seimbang itu? Apakah
komposisi 50:50 adalah yang disebut dengan seimbang? Tidak, makna keseimbangan
tidaklah sesederhana dan segampang itu.
Menurut saya, Indonesia sudah berada di jalur yang tepat saat ini. Asing
tersebut memang perlu dikontrol, tetapi bukan berarti kita harus meniadakan
keberadaan mereka. Disinilah butuh peran pemerintah yang visioner untuk membuat regulasi yang bukan sekedar baik, tetapi
juga harus bijaksana. Namun yang menjadi masalah lagi adalah, apakah ukuran
kebijakan yang bijaksana itu? Bukankah bijaksana menurut satu pihak belum tentu
bijaksana menurut pihak yang lain? Apakah memang ada standar atau konsensus untuk
mengukur hal tersebut? Ah, segala sesuatunya memang sangat rumit kalau sudah
melibatkan manusia dengan berbagai keberagamannya!!
0 comments:
Post a Comment