Sosoknya hadir mengisi peran yang sangat penting dalam hati anak muda
seperti kami. Kami adalah golongan anak muda yang masih memiliki idealisme, golongan
anak muda yang masih memiliki nurani, golongan anak muda yang masih memiliki “otak waras”,
golongan anak muda yang tidak menjadikan uang dan kekuasaan sebagai sumber penggairah
hidup yang utama, golongan anak muda yang resah memikirkan kondisi bangsanya
saat mayoritas anak muda hanya sibuk memikirkan karir dan ambisi pribadi.
Kami tumbuh mengalami pendewasaan pemikiran dimasa yang tidak tepat. Masa
dimana negara sedang krisis dengan sosok pemimpin yang bersih. Masa yang sebenarnya
sangat kritis buat kami, masa yang sangat menentukan jalan hidup yang akan kami
pilih ke depan, masa yang akan sangat menentukan masa depan bangsa. Masa itu
adalah masa dimana bila kami salah pilih jalan, kami akan tumbuh menjadi anak
muda bengal, liar, sesat, dan akan berkontribusi untuk menghancurkan bangsa.
Di masa itu, kami membutuhkan sosok figur kuat untuk kami jadikan patron,
untuk kami jadikan tokoh “hero” dalam drama kehidupan kami, untuk kami ikuti
jalan hidupnya, untuk kami bangga-banggakan, untuk kami jadikan pelampiasan
takdir “sentimental” yang kami miliki sebagai manusia. Kami sadar, kami manusia
diciptakan bukan hanya terdiri atas unsur logika, kami juga diciptakan dengan unsur
emosional, walaupun hidup kami memang didominasi oleh logika.
Kami sempat berpikir skeptis terhadap bangsa ini. Kami sempat berpikir
untuk mencari jalan meninggalkan bangsa yang “aneh” ini, bangsa yang dimana
kami banyak menemukan hal-hal yang sangat kontradiktif,
bangsa dimana konsistensi adalah hal yang sangat susah ditemukan, bangsa dimana
kami menemukan banyak paradox kehidupan yang
sangat ekstrim, bangsa yang akhirnya membuat kami sadar bahwa ternyata hidup
tidaklah seideal apa yang ada di pikiran kami, bangsa yang akhirnya membuat
kami sadar bahwa ternyata hidup tidaklah seideal apa yang seharusnya menurut
ukuran standar moral dan logika yang kami miliki.
Bahkan kami sempat sinis memandang ilmu pengetahuan, kami sempat ingin
membuang jauh-jauh buku-buku yang kami baca selama ini, kami sempat ingin
membuang semua isi otak kami. Isi yang kami peroleh dengan pengorbanan yang tak
terkira, isi yang kami peroleh dengan pengorbanan yang tak terkira dari orang
tua kami, isi yang kami peroleh dengan membaca, berpikir, merenung, yang
membuat kami kadang mengabaikan kesehatan, isi yang kami peroleh dengan
mengorbankan kesenangan yang seharusnya kami dapatkan di usia kami.
Di tengah pesimisme kami, akhirnya muncul sosok yang mampu mengembalikan “kewarasan”
kami. Sosok yang sangat bersahaja, sosok yang sangat ideal menurut standar
kami, bahkan mungkin diatas standar ideal kami, sosok yang sangat berpegangan
pada ilmu pengetahuan, sosok yang sangat berpegangan pada hati nurani, sosok
yang telah menyelamatkan generasi muda dari golongan kami.
Belum lama sosok itu mengisi ruang “emosional” hidup kami, kami sudah
dipaksa untuk kehilangan sosok itu secara fisik. Kepergiannya membuat pemikiran
kami kembali goyang. Hidup kami kembali kosong. Betapa malangnya nasib kami.
Namun kami tidak akan sesat lagi, karena kami tidak akan pernah kehilangan
sosok abstraknya dalam kehidupan kami. Sosok abstraknya akan tetap mampu mengisi
ruang “sentimental” hati kami.
Selamat jalan untukmu, jasamu besar menyelamatkan masa depan generasi kami,
figurmu akan menjadi pahlawan di hidup kami. Karenamu, kami tidak akan
kehabisan cerita indah kepada generasi kami yang berikutnya. Suatu saat kami dengan
bangga akan bercerita kepada keturunan kami bahwa bangsa ini pernah memiliki
sosok manusia ideal, yaitu WIDJAJONO PARTOWIDAGDO.
0 comments:
Post a Comment