Pages

Ads 468x60px

Thursday, March 22, 2012

Ada Apa Dibalik Rekomendasi "Pengurangan Subsidi" Oleh World Bank?


Sekarang ini negara kita sedang gonjang-ganjing mengurusi masalah subsidi BBM, yang menurut saya saat ini sudah lebih kuat unsur politis daripada ekonominya. Isu ini sudah ditunggangi oleh berbagai pihak untuk mencapai tujuannya. Semua orang berlomba-lomba memberikan opininya. Para ekonom juga memberikan pendapat yang berbeda-beda, dan semuanya diterangkan dengan logis dengan menyajikan data-data. Membuat rakyat awam yang tidak mengerti apa-apa menjadi bingung. Saya tidak akan membahas tentang pro-kontra ini, saya hanya membahas hal lain dibalik subsidi ini.

Sebenarnya ide pencabutan subsidi, terutama untuk BBM, itu berasal dari World Bank. World Bank pernah mengeluarkan report pada tahun 2006 dengan judul “Public Policy for The Private Sector - Phasing Out Subsidies”. Dalam report tersebut, World Bank merekomendasikan pencabutan subsidi BBM secara bertahap oleh negara-negara berkembang. Mereka berargumen bahwa subsidi BBM akan akan menimbulkan biaya yang sangat tinggi terhadap fiskal dan peningkatan utang publik.

Hal tersebut berarti bahwa Bank Dunia menginginkan pasar minyak harus dilepas ke mekanisme pasar, tidak dibutuhkan lagi intervensi pemerintah dalam bentuk subsidi. Sesuai dengan pemikiran teori modern neoclassical economics, ekuilibrium harga dan kuantitas yang terbentuk pada pasar persaingan kompetitif mungkin adalah merupakan yang paling efisien, alokasi sumber daya pada kondisi tersebut akan terjadi dengan sempurna.

Mari kita bayangkan argumen dari World Bank tersebut. Dalam pasar persaingan kompetitif, harga yang terbentuk dalam titik ekuilibrium itu adalah sama dengan biaya produksi (p = c). Biaya (cost) dalam hal ini sudah termasuk keuntungan minimal yang harus diperoleh oleh produsen agar tetap mampu berproduksi.


Ketika jumlah permintaan meningkat, berarti harga adalah turun. Karena harga dalam persaingan kompetitif sama dengan cost, maka berarti harga akan turun di bawah cost ketika permintaan naik . Jika harga sudah turun dibawah cost, maka produsen tidak akan mampu lagi berproduksi karena merugi. Berarti dalam hal ini produsen akan dirugikan sehingga kesejahteraan ekonomi tidak akan terjadi.

Bila kita berikan skenario kebalikan, misalkan jumlah permintaan menurun, maka berarti harga sedang naik. Karena harga sudah berada diatas ekuilibrium pasar kompetitif yang seharusnya, maka kesejahteraan ekonomi juga tidak akan tercapai. Dalam hal ini, berarti argumen World Bank bahwa pencabutan subsidi akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi adalah tidak masuk akal.

Kesejahteraan ekonomi hanya akan meningkat ketika peningkatan jumlah permintaan tidak disertai dengan penurunan harga dibawah cost. Oleh sebab itulah, subsidi dari pemerintah sangat diperlukan untuk untuk menahan harga ketika jumlah permintaan sedang naik ataupun turun. Dengan demikian, social welfare akan tetap terjaga mengalami peningkatan.

Tapi itu hanyalah logika sederhana saya berdasarkan hukum permintaan dan penawaran. Yang pasti, orang-orang World Bank adalah lebih pintar dari saya. Mungkin ada beberapa faktor lain yang mereka masukkan, yang mungkin diluar pengetahuan saya. Atau memang sebenarnya mereka mengeluarkan suatu rekomendasi kebijakan adalah hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Mudah-mudahan tidak demikian. Saya tidak mau berpikiran terlalu konspiratif. :p 

0 comments: