Nasionalisme,
khususnya dalam konteks negara yang pernah mengalami masa kolonial seperti
Indonesia, menjadi salah satu topik yang hangat. Ada pendapat bahwa rasa
nasionalisme berguna sebagai 'alat' untuk orang-orang dalam perjuangan
anti-kolonial, untuk membakar semangat dan memunculkan rasa senasib yang
tertindas.
Beberapa
ribu tahun yang lalu, manusia hidup dalam kelompok-kelompok suku di tengah
hutan, biasanya kurang dari seratus masing-masing. Para individu dalam suku ini
umumnya hanya dikawinkan dengan sesama suku - sehingga gen dari dua individu
dalam suku yang sama lebih mirip daripada gen dari dua individu di seluruh
suku. Persaingan untuk sumber daya yang terbatas hadir dalam hutan sering
menyebabkan perang antar suku, dan dalam perang ini akan masuk akal (masuk akal
bagi gen kita) untuk memperjuangkan suku dan bahkan mati untuk itu, karena itu
akan berarti kesempatan lebih besar untuk bertahan hidup gen kita.
Akibatnya
perilaku dasar ini sudah dikodekan dalam gen kita. Manusia terus menciptakan
afiliasi-afiliasi untuk melindungi kepentingannya. Bentuk pertama dari
perlindungan dan kesetiaan biasanya adalah keluarga. Kemudian individu membuat
afiliasi semakin besar: suku, pekerjaan, partai politik, bangsa, dan dunia.
Saya
pikir, akar dari nasionalisme sudah mengalir dalam darah manusia, menjadi
naluri dasar untuk bertahan hidup, pelestarian diri, dan melanjutkan keberlangsungan
keturunan. Bahkan spesies binatang juga
menunjukkan 'nasionalisme' dalam bentuknya sendiri.
Sekarang,
manusia telah sangat berkembang, namun mungkin tidak begitu banyak berubah
(mungkin tidak sama sekali). Gen kita masih mencari "suku" untuk diri
sendiri dan terus mencari kelompok. Agama, kasta, ras, ideologi - dan
kebangsaan - semua digunakan sebagai bentuk identitas komunal. Salah satu
bagian utama berada di sebuah komunitas adalah untuk melihat rasa kesatuan
dengan anggota lain dari komunitas dan keberbedaan terhadap komunitas-komunitas
lain. Sekaligus ini menyimpan bahaya karena hanya menciptakan dua kelompok yang
cenderung mengarah ke pikiran sempit: kita dan yang lainnya, pihak selain kita
adalah musuh.
Sekarang,
nasionalisme dalam konteks bahan jualan politisi saat pemilu, misalnya isu anti asing, semangatnya tidak
berbeda dari fanatisme agama, rasisme atau kasta. Dalam setiap kasus ini,
orang-orang berharap kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat mereka sendiri,
kadang-kadang dengan mengorbankan yang lain. Dan tampaknya bahan jualan politik seperti
ini masih laku, padahal tak lebih dari mengobarkan semangat permusuhan. Fakta
sejarah menunjukkan tindakan pembantaian massal dan diskriminasi banyak menggunakan
nasionalisme sebagai justifikasi.
Setiap
orang di dunia adalah individu mementingkan diri sendiri. Kasarnya, semua orang
di dunia ini egois dan ingin memaksimalkan keuntungannya. Pemerintah ingin
memastikan bahwa orang-orang bekerja untuk membangun bangsa. Warga ingin
masyarakat mereka berkembang maju dan ingin semua orang berkontribusi untuk ini
sebanyak mungkin, karena masyarakat maju dan bangsa pada akhirnya menguntungkan
mereka.
Nasionalisme
dalam praktik tak lebih dari bentuk tribalisme kuno untuk melampiaskan perilaku
barbar manusia, pengaturan default pada semua spesies sosial. Ini bisa menjadi
kekuatan untuk kebaikan seperti dalam membela bangsa di masa perang, tetapi
dalam masa damai, kita paling sering mengasosiasikannya dengan arogansi dan
agresi. Hanya ada garis tipis antara "Saya bangga siapa saya" dengan
"Saya lebih baik daripada Anda ".
Bagi
saya, nasionalisme adalah hal absurd, mirip dengan mengatakan “Ayah saya adalah
pria terbaik di dunia”, atau “Pacar saya adalah wanita tercantik di muka bumi”.
Kita akan menciptakan rasionalisasi dan banyak alasan untuk berkata demikian,
tapi klaim kita tentang dia menjadi yang terbaik di dunia tidak tidaklah
seserius itu. Namun, orang juga memahami alasan kita untuk mengatakan begitu.
Dirgahayu
ke-69 Indonesia!
0 comments:
Post a Comment