Satu ketika saya bertanya kepada
seorang teman: “Seberapa yakinkah kamu dengan agama yang kamu anut?”. Dia
menjawab: “100 persen!”. Ketika saya melakukan eksplorasi terhadap keyakinannya
itu, ternyata yang saya dapatkan tak lebih dari keyakinan tanpa dasar yang
jelas.
Okelah, itu adalah hak setiap orang.
Saya tidak tertarik membahas tentang keyakinan. Debat kusir tentang ini tidak akan
pernah berakhir. Saya hanya tertarik mendalami perilaku manusia.
Ini adalah contoh salah satu bias dalam
hidup manusia yang disebut dengan over-confidence
effect. Suatu keyakinan yang melebihi akurasi sebenarnya atau rasio.
Bagaimana dapat dikatakan yakin 100% sementara bertemu dengan Tuhan, Surga, dan
Neraka saja tidak pernah. Semua gambarannya hanya didapat dari kitab suci.
Fenomena ini banyak kita jumpai dalam
kehidupan. Seorang karyawan cenderung menilai dirinya lebih tinggi sehingga
menuntut gaji yang lebih besar lagi. Bubble
dalam pasar saham dan harga komoditas juga dipicu optimisme yang berlebihan.
Itu pula yang terjadi dengan
perekonomian Indonesia pasca mendapat rating
investment grade. Kita menganggap Indonesia sebagai idola baru di dunia.
Akibatnya, pemerintah, sadar atau tidak, banyak membuat kebijakan yang menyakitkan
asing. Politisi juga semakin mengobarkan semangat anti asing. Simple saja alasannya: masyarakat sangat
menyukai isu anti asing ini. Politisi yang terkesan anti asing, akan punya
peluang lebih besar untuk dipilih masyarakat lugu dalam pemilihan nanti.
Hasilnya bisa kita lihat sekarang. Perekonomian
kita mengalami batuk-batuk ketika asing melakukan serangan kecil dengan membawa
modal keluar dari Indonesia. Saya selalu mengatakan bahwa kita harus membangun
indonesia dengan akal sehat, bukan hanya berdasar nasionalisme yang sempit.
Ketika berkutat dalam melakukan due-diligence terhadap suatu bisnis atau
penilaian terhadap seorang personal tokoh, pemikiran skeptis ini banyak
membantu saya dalam memformulasikan resiko. Setidaknya itulah yang saya peroleh
dalam pengalaman yang masih pendek. Saya harus mengetahui siapa dan latar
belakang seseorang untuk dapat memahami perannya dalam suatu masalah dan
mengukur potensi resiko. Saya harus melakukan eksplorasi ke hal yang paling fundamental.
Kita ilustrasikan misalnya dalam suatu
pengadilan. Seorang pengacara bertugas membela terdakwa sehingga wajar jika
membela habis-habisan dengan mengesampingkan kesalahan. Sementara seorang jaksa
penuntut akan menuntut habis-habisan si terdakwa dengan mengesampingkan hal
positif. Semuanya itu tak terlepas dari peran
masing-masing. Jadi, mari melupakan objektivitas. Itu hanya bahasa
retorika dan omong kosong.
Namun begitupun, bukan berarti kita boleh
memelihara faktor subjektif. Konsep objektivitas atau bebas nilai mungkin
memang hanya suatu ilusi. Tetapi mungkin ilusi yang bermanfaat. Objektivitas
semu itu harus berusaha dicapai. Agar kita tidak tumbuh menjadi seorang manusia
picik dengan wawasan dan perspektif yang sempit satu arah. Walaupun sempurnanya
mungkin hanya utopis.
Semakin saya mendalami
pemikiran-pemikiran orang hebat, semakin saya merasa bahwa konsep bebas nilai
hanyalah satu ilusi. Tak lebih dari kemunafikan para pemikir itu. Menutupi
subjektivitas dengan mengatakan diri bebas nilai.
Mungkin subjektivitas sudah merupakan
sifat manusia. Bagaimanapun melawan itu, manusia tidak akan bisa
terlepas. Masing-masing manusia berangkat dari satu domain yang mempengaruhi
perkembangan pemikirannya. Tidak akan pernah ada dua manusia yang identik. Ini
pula yang membuat penilaian terhadap sesuatu adalah wajar berbeda. Artinya
objektivitas setiap orang adalah berbeda.
Sebab itu, dalam melakukan penilaian
terhadap satu hal, manusia sangat tergantung dengan konsensus atau kesepakatan
universal. Orang yang berhasil menyelaraskan
diri dengan konsensus, disebut oleh masyarakat sebagai manusia normal.
Mungkin agama dan berbagai dongengnya adalah
salah satu ilusi terbesar manusia. Mungkin menurut saya. Dan jangan lupa, saya
juga berangkat dari skeptimisme terhadap agama. Saya tidak akan pernah mampu
menilai agama dengan objektif.
Oke mulai sekarang saya tidak akan
berani mengatakan diri sebagai makhluk yang rasional. Sebab banyak perilaku
saya yang sebenarnya juga tidak masuk akal. Rokok yang jelas-jelas merugikan
masih saya konsumsi hingga sekarang.
Bahkan kalau anda adalah orang yang
teliti dan memiliki kemampuan menafsir bahasa yang baik, argumen-argumen yang
saya berikan diatas sudah menggambarkan semuanya. Anda akan banyak menemukan
kontradiksi. Tulisan ini adalah gambaran dari apa yang saya tulis ini. Tulisan
ini tak lebih dari dari penilain subjektif yang saya kemas dengan seolah-olah
objektif.
Sekarang saya coba memberikan
pertanyaan kepada anda. Berapakah negara anggota organisasi pengekspor minyak (OPEC)?
a) antara 10-15 negara
b) antara 15-20 negara
c) diatas 20 negara
Coba masing-masing ketiga jawaban
diatas anda beri persentase keyakinan sebagai jawaban yang benar. Kemudian coba
anda cek disini jawaban yang benar. Apakah
anda mengalami juga fenomena over-confidence?
Berhati-hatilah dalam membuat keputusan. Saat percaya diri sudah berlebih, saat
itulah resiko akan mulai diabaikan.
0 comments:
Post a Comment