Arman Boy Manullang
Pengamat Pasar Modal
Koran Kontan, Kamis, 23 Mei 2013
Pengamat Pasar Modal
Koran Kontan, Kamis, 23 Mei 2013
Ada anomali yang sangat terasa. Perekonomian
global dan domestik sudah memberikan sinyal perlambatan. Ancaman inflasi sudah
menunggu. Kondisi politik sudah memanas. Defisit neraca perdagangan melebar. Namun
pasar saham tak kunjung memberikan sinyal pembalikan arah. IHSG terus
menciptakan rekor level tertinggi baru. Semua saham diburu oleh investor yang
kelaparan. Beli saham apa saja pasti untung.
Global (Amerika, Eropa, dan Jepang)
menjalankan quantitative easing “printing
money” policy sebagai solusi instan mengatasi krisis saat kebijakan suku bunga acuan mendekati 0% tidak efektif lagi. Akibatnya dunia kelebihan likuiditas. Kemana
lagi larinya kalau bukan ke pasar saham yang menjanjikan return instan. Pasar saham akan menyerap uang sebanyak apa pun.
Dana mengalir ke negara berkembang, yield obligasi pemerintah menurun,
konsumsi meningkat, bisnis semakin mudah mendapatkan pendanaan, harga aset
keuangan meningkat. Semuanya adalah konsekuensi dari ease monetary policy.
Tampaknya market lebih digerakkan oleh
sentimen. Fundamental dan argumen hanya digunakan untuk mendukung sentimen itu.
Semua meneriakkan: “Buy! buy! buy!”.
Tak peduli bagaimana kualitas aset itu.
Siapa yang menciptakan sentimen? Mereka
adalah opinion maker. Ada ekonom, banker, fund manager, analis, media, dan pembuat kebijakan. Mereka yang
membentuk konsensus. Mereka yang membentuk suara publik. Sayangnya kebanyakan mereka
memiliki kepentingan.
Selebihnya adalah market followers.
Lihat dengan shale gas yang sudah mulai booming.
Batubara dan Minyak Bumi yang dulu dipuja-puja, dalam sekejab dimaki bagai tak ada
harga.
Siapa yang memulai semua ini? Mungkin
mereka yang sudah melakukan investasi duluan. Argumen justifikasi yang sangat logis -- gas lebih ramah lingkungan dibanding batubara, dalam sekejab berhamburan di
media.
Reputasi mereka yang berbicara memang
sangat baik. Mereka layak dipercaya.
Tapi tunggu dulu. Bukankah analis
meneriakkan buy sebelum Enron
bangkrut? Bukankan media dan peramal selalu menulis prospek cerah sektor
teknologi sebelum era kehancuran saham teknologi? Bukankah produk Lehman
Brothers mendapatkan rating AAA sebelum bangkrut?
"Dalam beberapa bulan ke depan
saya melihat pasar saham jauh lebih tinggi daripada hari ini." Demikian kata-kata
yang diucapkan oleh Irving Fisher, Profesor Ekonomi di Universitas Yale, peraih
pertama nobel ekonomi, tepat 14 hari sebelum Wall Street hancur pada Black
Tuesday , 29 Oktober, 1929.
Tragis, dia kehilangan 140 juta (dalam
dolar setara hari ini) dalam kehancuran pasar saham itu. Fisher adalah manusia
jenius, seorang ekonom besar, seorang teoritikus yang sangat baik, salah satu
pendiri ekonometrik, dan pelopor dalam analisis angka indeks.
John Maynard Keynes, ekonom Inggris yang
paling terkenal, yang sebelumnya mengumpulkan kekayaan di pasar keuangan untuk
dirinya dan Cambridge University, kehilangan 156 juta (dalam pound saat ini)
dalam kejadian itu.
Myron S. Scholes, peraih nobel ekonomi 1997, salah seorang penemu formula Black-Scholes Equation untuk valuasi instrumen derivative, adalah partner di Long Term Capital Management (LTCM) ketika dilikuidasi akibat kerugian dalam jumlah sangat besar tahun 2000.
Myron S. Scholes, peraih nobel ekonomi 1997, salah seorang penemu formula Black-Scholes Equation untuk valuasi instrumen derivative, adalah partner di Long Term Capital Management (LTCM) ketika dilikuidasi akibat kerugian dalam jumlah sangat besar tahun 2000.
Ketika euforia optimisme berganti
menjadi pesimisme, hutang yang sebelumnya dijustifikasi optimisme, akan
berbalik arah dianggap berbahaya. Kreditor yang awalnya optimis, berubah
menjadi panik, kemudian melakukan penyitaan paksa. Semua akan beramai-ramai mengajukan
kebangkrutan. Ini adalah cerita klasik dari krisis yang berawal dari
keserakahan.
Cerita bubble bukan hal baru di dunia
ini: mulai dari The Dutch Tulip Mania 1637,
The British South Sea 1922, The Dot-Com Boom 2000, hingga The Subprime Mortgage 2007. Dan semuanya
berinti tentang keserakahan manusia.
Oh mengapa memori kita sangat pendek?
Tapi kita harus konsisten. Kita harus
siap menghadapi konsekuensi apa yang kita anut. Ini adalah kapitalisme. Res tantum valet quantum vendi potest.
Sesuatu hanya berharga ketika seseorang mau membayar untuk itu.
Kapitalisme “invisible hand” akan siap menghukum setiap kesalahan pelaku. Tak
peduli siapa dia. Masalahnya, yang dihukum bukan hanya pelaku, bukan pula hanya
hingga penonton, awam pun akan ikut dihukum.
Ekonomi memang terkadang sangat
misterius. Banyak fenomena yang tidak bisa dijelaskan.
Tidak sulit untuk mendapatkan
keuntungan dari pasar saham. Tapi yang sulit adalah mencukupkan diri. Manusia
selalu ingin cepat kaya dengan cara yang mudah. Itulah yang selalu menjadi
sumber setiap cerita pilu.
Ada joke klasik dalam pasar saham: Ketika
ibu rumah tangga dan anak yang tidak memiliki penghasilan sudah ikut bermain
saham, itulah tanda-tanda pasar saham akan hancur.
Pasar saham memang selalu menyisakan
teka-teki. Dan kita akan terus melakukan rasionalisasi dan justifikasi dalam
setiap kejadian.
Mereka bilang sejarah akan selalu
berulang dengan sendirinya. Hanya nama, wajah, dan waktunya saja yang berbeda. Dan
cerita ini akan terus berlanjut sepanjang manusia tidak mau belajar dari
sejarah.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai tambahan, ada kutipan menarik
dari film Wall Street: Money Never Sleeps.
POOR MAN: I'd like a mortgage... I
don't really have any money though... is that cool?
BANKER MAN: Totally cool. Since housing prices are always going up it won't be a problem.
BANKER MAN: Totally cool. Since housing prices are always going up it won't be a problem.
POOR MAN: You guys are awesome!
GORDON GECKO: You wanna know what the
mother of all bubbles was? Us. The human race.
2 comments:
BLOG BYANG BAGUS.MAS....WALLSTRRET DAN KESERAKAHAN MANUSIA.
Terimakasih, Bli..
Post a Comment