Era
kebebasan berbicara dan berpendapat di Indonesia sudah memasuki masa keemasan,
bahkan mungkin sudah melewati batas kewajaran. Itulah tren yang terjadi saat
ini. Setiap orang bebas berpendapat, bahkan menghina seorang simbol negara
adalah hal yang biasa di negeri ini. Inilah mungkin yang disebut dengan era
kebebasan yang kebablasan.
Secara
umum saya perhatikan, ada 3 jenis pengkritik di negeri ini, berdasarkan
domainnya. Yang pertama adalah pengkritik yang berasal dari kaum budayawan atau
seniman. Yang kedua adalah para pengkritik yang berasal dari kaum profesional
dengan domain keilmuan tertentu, yang ketiga adalah masyarakat biasa yang hanya
sekedar ikut-ikutan.
Mari
kita bahas jenis yang pertama dulu. Di Indonesia sekarang sudah bermunculan
golongan yang diklaim sebagai budayawan. Mereka ini biasanya dikenal dengan
kebersahajaannya dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Mereka ini kerap
menggunakan media yang dekat dengan kehidupan masyarakat bawah sebagai alat
untuk mengkritik pemerintah, misalnya melalui acara pagelaran wayang atau
format acara lawakan di televisi.
Saya
memandang mereka ini tidak lebih dari sebagai badut masyarakat. Kelemahan
mereka paling utama adalah mereka tidak paham konteks dan teknis dari apa yang
sering mereka kritik. Bagaimana mungkin seorang dalang atau pelawak mampu
mengklaim bahwa pengucuran dana bailout terhadap Century adalah merupakan
skandal yang merugikan masyarakat? Sementara dia bukan orang yang memahami
tentang mekanisme perekonomian suatu negara berputar, dan tentang bisnis
perbankan secara khusus. Yang mereka gunakan hanya common sense. What the hell! Ini tahun 2012, mari berbicara dengan
fakta ilmiah dan terukur, bukan sekedar berargumen tanpa landasan yang kuat.
Kritikus
yang kedua adalah orang yang paham dengan teknis, mungkin mereka adalah
kaum-kaum intelektual. Ya mereka memang berbeda dengan yang jenis pertama tadi,
sayangnya tidak lebih baik. Standar moral atau etika yang mereka miliki
biasanya sangat rendah. Mungkin karena otak mereka sudah diracuni dunia,
standar etika profesi mereka hanya ada diatas kertas. Jadi mereka hanya
berupaya mengkritik kesana-kemari tanpa pernah mengapresiasi apa yang baik. Dan
biasanya setiap tindakan mereka memiliki suatu motif.
Yang
ketiga itu adalah kebanyakan masyarakat biasa, mereka sangat gampang digiring
untuk mengambil sudut pandang dari view tertentu.
Disinilah media banyak memanfaatkan golongan seperti ini. Istilahnya ini adalah
pasukan bodrex. Mungkin mayoritas masyarakat kita ada di golongan ini.
Inilah
sumber carut marut di Indonesia saat ini. Saya sebut itu dengan kombinasi dari pemerintahan yang korup,
politisi yang busuk, media yang tidak independen, dan kualitas masyarakat yang
masih rendah.
Tiba-tiba
saya kepikiran lagi untuk memunculkan jenis kritikus yang keempat. Siapa itu?
Mereka adalah pengkritik yang mengkritik para si pengkritik itu tadi, seperti
saya ini.hahaha. Biasanya mereka itu adalah orang biasa yang tidak terafiliasi
dengan pihak manapun, dan tidak punya ambisi atau motivasi apa-apa. Mungkin
mereka hanya suka mengamati, memikirkan, dan terkadang menulisnya kalau sedang
tidak malas. Kalau mereka sedang malas menulis, mungkin pengamatan dan
pemikirannya itu akan menguap begitu saja.
Kelemahan
dari orang seperti ini adalah semua pemikirannya hanya sebatas sampai di ide
saja, tidak akan berdampak apa-apa terhadap kehidupan masyarakat. Karena memang
mereka bukan siapa-siapa, mereka bukan orang yang bisa mempengaruhi kehidupan
sosial. :D
3 comments:
izin share mas, tulisan bagus mengingatkan kepada diri saya pribadi
izin share mas...
Hersanto & Adolph: Silahkan, semoga berguna menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Terimakasih. :D
Post a Comment