Dua tahun lalu saya ikut menyusun in-depth report dan investigasi ketika membuat profiling
terhadap 20 orang terkaya Indonesia versi Majalah Forbes. Yang menarik
perhatian saat itu adalah ternyata sangat susah ditemukan diantara 20 nama itu
yang tidak memiliki koneksi politik level atas. Saya sebenarnya ingin
mengatakan bahwa tidak ada diantara 20 nama itu yang tidak terkoneksi ke
politik.
Tidak terlalu mengejutkan pula bila majalah The Economist edisi 15 Maret 2014 menempatkan Indonesia di peringkat sepuluh dalam the crony-capitalism index.
Era booming
ekonomi Indonesia memang tampaknya hanya dinikmati segelintir orang. Pada masa
Orde Baru sudah kita tahu bersama bahwa mayoritas sektor usaha dimonopoli oleh
pengusaha yang dekat dengan rezim. Sejak menjadi diktator Indonesia tahun
1960-an, Soeharto berhasil mentransfer harta kekayaan negara ke dalam lingkaran
kekuasaan.
George Aditjondro yang mengabdikan hidupnya menelisik
kekuasaan oligarki Orde Baru, memperkirakan jumlah kekayaan Soeharto (Ia
menyebut dengan istilah Suharto Inc.) mencapai USD 25 miliar, jauh lebih besar
dari perkiraan majalah Forbes dan TIME.
Pada era berikutnya, sesudah kekuasaan Soeharto tumbang,
keadaan tidak jauh berbeda. Aset sitaan BLBI banyak jatuh dengan harga diskon
kepada para pengusaha yang memiliki koneksi politik.
Mungkin hal itu juga belum banyak berubah pada kekuasaan
SBY sepuluh tahun terakhir. Insider
businessman tetap tampil menguasai Sumber Daya Alam. Dan mayoritas
orang-orang itu adalah masih peninggalan era Soeharto, tetapi dengan wajah yang
berbeda sebagai boneka depan. Sebut saja misalnya Keluarga Salim, Soeryadjaya,
Riady, Nursalim, dan Bakrie.
Sektor bisnis yang paling rawan menjadi lokasi suburnya
aksi kroni menurut majalah The Economist juga relatif sama dengan yang terjadi di
Indonesia. Sektor-sektor yang seharusnya milik publik dan dikuasai negara
menjadi tempat berkembangnya praktek ini. Pertambangan adalah yang paling kasat
mata di Indonesia. Nyaris tak ada pengusaha tambang yang tidak memiliki koneksi
politik.
Cara paling mudah untuk melihat koneksi suatu perusahaan
ke politik adalah melihat jajaran komisaris yang duduk di perusahaan. Banyak
perusahaan besar yang mengelola resiko dengan menempatkan orang kuat yang
memiliki koneksi ke politik sebagai Komisaris pemakan gaji buta.
Menyedihkan memang 16 tahun sesudah Reformasi, negara ini
masih dipenuhi dengan pembuat kebijakan yang korup dan pebisnis pencari rente
yang sedang mengumpulkan kekayaan.
Konsekuensi pemburu rente
Praktek kongkalikong pengusaha dengan politik ini adalah
sangat tidak fair dan akan merusak mekanisme pasar. Keseimbangan jangka panjang
yang terbentuk tidak mencerminkan equilibrium ekonomi yang sebenarnya.
Kompetisi hanya akan dimenangkan oleh mereka yang memiliki koneksi baik.
Akibatnya yang dirugikan adalah konsumen yang akan dibebankan harga tidak
wajar. Daya saing akan menjadi rendah di pasar global.
Sebab itu, jangan heran jika anda harus membayar Rp 600
juta untuk sepetak rumah tipe 36 di daerah komuter Jakarta. Ini tak lepas dari
aksi para pemburu rente di bidang penguasaan lahan.
Mancur Olson telah melakukan penelusuran historis konsekuensi
dari perbuatan pemburu rente ini dalam buku The
Rise and Decline of Nations. Dia berargumen semakin suatu negara didominasi
oleh kelompok-kelompok dengan kepentingan yang terorganisir, negara itu akan
semakin kehilangan kekuatan ekonomi dan sedang menuju penurunan .
Ekonom dari Columbia University Joseph Stiglitz
berpendapat bahwa pemburu rente adalah kontributor besar dalam ketimpangan
pendapatan di Amerika Serikat. Mereka mengumpulkan kekayaan haram melalui lobi-lobi
terhadap kebijakan pemerintah. Tak heran bila kekayaan hanya terkonsentrasi
pada sekelompok orang atau golongan.
Namun di satu sisi, berbisnis itu memang susah dan penuh
dengan resiko ketidakpastian. Akan sangat besar resiko yang ditanggung
pengusaha ketika tidak memiliki koneksi politik. Intervensi terhadap kebijakan
kadang dibutuhkan melalui koneksi yang dimiliki itu. Tentunya akan ada penyuapan
yang bermain di sana.
Dari sisi rasionalitas bisnis, tindakan para pebisnis ini
memang sangat masuk akal. Saya contohkan misalnya daripada membayar pajak Rp
500 miliar, lebih baik menyuap petugas pajak sebesar Rp 50 miliar.
Mungkin ini adalah praktek yang lumrah dalam bisnis,
bukan hanya di Indonesia. Tapi itu tidaklah layak untuk dijadikan alasan
pembenaran.
Sampai sekarang saya juga masih berpikiran bahwa memang
mungkin mustahil memiliki perusahaan besar jika tidak memiliki koneksi politik.
Bahkan saya sering berspekulasi bahwa tidak akan ada cara untuk kaya dengan
jujur. Semoga saja saya salah dengan pengalaman yang masih terbatas ini.
Dipublikasikan pada Harian Kontan dan Kontan Online, 28 Maret 2014.