Kontan, 17 Maret 2014
Jokowi berhasil mengubah mood pasar saham Jakarta hanya dalam hitungan jam. Running trade yang penuh dengan warna merah tiba-tiba mendadak hijau. Indeks yang sempat berkubang di zona merah hingga minus 1% di sesi pagi 14 Maret 2014, berhasil berbalik arah melonjak begitu kabar deklarasi Jokowi sebagai calon presiden menyebar di pasar. Indikator pasar saham Jakarta sukses melompat hingga 3,2% di sesi penutupan sore. Dan kejadian itu terjadi di tengah gempuran sentimen negatif dari Ukraina. IHSG berhasil melawan arus pelemahan dalam pasar global dan regional. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah sebagai indikator sovereign risk juga langsung turun 10 basis poin.
Sepanjang pengalaman saya menggeluti pasar modal, hanya
ada dua tokoh besar di Indonesia yang mampu menggerakkan pasar saham sangat
signifikan. Salah satu tokoh lain yang muncul di kepala saya adalah Sri Mulyani.
Saya ingat pada Mei 2010, pasar saham terjun bebas hingga minus 3,81% ketika
beliau mengumumkan pengunduran diri dari posisi Menteri Keuangan akibat tekanan
politik. Saat itu pasar saham bereaksi negatif dan melakukan aksi jual
besar-besaran.
Jokowi yang cenderung lebih disimbolkan mewakili
masyarakat kecil, ternyata juga mampu memberikan harapan baru di pasar saham
yang sering dianggap menyimbolkan
kapitalisme nan rakus. Jokowi juga ternyata mampu memompa semangat baru ke
dunia yang dianggap hanya diisi oleh orang-orang berduit yang tidak punya sense of humanity.
Investor asing juga memberikan reaksi gairah yang luar
biasa. Suntikan uang panas dari luar negeri seketika masuk ke dalam sistem
pasar saham Indonesia dalam jumlah bersih IDR 7,5 triliun. Dan itu terjadi
hanya dalam beberapa jam perdagangan saja.
“Investor tidak membutuhkan hasil Pilpres lagi. Dengan
deklarasi Jokowi sebagai calon presiden saja, pasar sudah bisa menebak hasil Pilpres
nanti. Bisa dipastikan dia akan menang dengan mudah.” Demikian komentar dari
seorang teman sesama portfolio manager. Ini berarti price in ke market akan
dilakukan sekarang hingga sebelum Pilpres.
Dalam catatan saya, belum ada sambutan semeriah ini untuk
kandidat presiden sepanjang perjalanan bursa saham Indonesia. Sebagai
perbandingan, tengok saja ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden tahun 1999.
Tepat tanggal 20 Oktober, bursa dibuka pada angka 583. Ketika akhirnya Gus Dur
terpilih mengalahkan Megawati, bursa langsung anjlok ke angka 569. Memang
terbilang wajar untuk saat itu, mengingat adanya potensi terjadinya keributan
akibat pendukung Megawati yang tidak terima dengan kekalahan jagoannya.
Ketika SBY terpilih menjadi Presiden untuk pertama
kalinya, tepatnya pada 21 September 2004,
IHSG hanya naik tipis sekitar 0,18%. Sementara tahun 2009 ketika SBY
terpilih untuk kedua kalinya, sehari setelah Pilpres, IHSG ditutup hanya
menguat tipis 0,03%.
Pesona Jokowi memang luar biasa membius publik saat ini.
Jika ada yang berani mengkritik Jokowi secara terbuka, dipastikan orang itu
akan berhadapan dengan publik yang sudah terlanjur mencintai Jokowi. Bahkan
kaum rasionalis yang saya kenal dengan pandangan-pandangan sinis dan skeptisnya
selama ini, seolah-olah kehilangan akal sehat ketika sudah berbicara tentang
Jokowi. Tak tampak lagi argumen-argumen yang didasarkan pada fakta. Yang ada
hanyalah romantisme ala Eropa abad ke 18. Profil Jokowi memang sudah sukses
besar melambung digoreng oleh media massa.
Overreaction pasar
saham
Salah satu konsekuensi dari manusia ketika terjun ke pasar
modal adalah adanya unsur emosi dari pelaku yang terlibat. Overreaction adalah salah satu fenomena yang menjadi bukti
keterlibatan unsur emosional itu. Dalam konsep efisiensi pasar, informasi yang
baru muncul tidak akan terefleksi secara tepat dan sempurna ke pasar, akan
selalu ada apresiasi yang berlebihan atau kurang terhadap harga sekuritas.
Sebelum kemudian pelaku melakukan penyesuain dengan fundamental atau nilai
informasi itu.
Berhubungan dengan hipotesis efisiensi pasar, bisa saya
katakan bahwa informasi seperti pencapresan Jokowi ini bukanlah suatu tren
jangka panjang dalam bursa saham. Pada intinya, semua akan kembali ke
fundamental. Namun memang tak ada salahnya jika kita memanfaatkan euforia
jangka pendek ini.
Saya kira, pasar juga harus melakukan eksplorasi yang
lebih jauh lagi untuk mengetahui bagaimana sudut pandang dan kebijakan ekonomi
yang akan dijalankan oleh Jokowi nantinya. Perlu dilihat lebih jauh lagi apakah
Jokowi sebenarnya pro pasar atau tidak. Dan yang paling penting, salah satu
masalah mendasar dalam ekonomi Indonesia adalah persoalan subsidi BBM. Waktu
akan menguji nantinya apakah Jokowi hanya mementingkan populisme semata atau
rela mengorbankan popularitas demi kepentingan jangka panjang bangsa. Semoga
Jokowi tidak akan mengecewakan publik kemudian.
0 comments:
Post a Comment