Bila ditanya kenapa saya harus mencintai
Indonesia, saya akan jawab karena memang keharusan. Saya lahir di Indonesia,
saya besar di Indonesia, darah saya adalah Indonesia, jadi suka tidak suka saya
harus mencintai negara ini, dengan segala carut-marutnya. Negara yang saat ini
kelihatannya seperti tidak ada hal positif di dalamnya, bahkan ada yang
mengatakan negara gagal. Sangat menyedihkan menyebut negara sendiri sebagai
negara gagal.
Indonesia memang sekarang menikmati fase
demokrasi yang sangat indah, setelah 32 tahun tenggelam dalam rezim otoriter
Soeharto. Jatuhnya Soeharto saat bersamaan dengan krisis ekonomi 1998 menjadi
titik penting buat proses demokratisasi Indonesia, dan juga liberalisasi dalam
perekonomian. Pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 yang dimenangkan oleh
SBY juga menjadi tonggak sejarah buat Indonesia, bahkan tahun 2009 terpilih
lagi untuk periode ke-dua.
Proses demokratisasi Indonesia terjadi nyaris
tanpa pertumpahan darah, adalah hal yang mungkin sulit ditemukan di negara lain
yang sedang mengalami proses tersebut. Proses reformasi pemerintahan, yang
diikuti dengan desentralisasi kekuatan politik melalui konsep otonomi daerah,
terbilang sukses dilaksanakan. Tidak heran jika dunia internasional menjadikan
Indonesia sebagai salah satu contoh negara yang sukses melakukan demokratisasi.
Ekonomi Indonesia pun bertumbuh stabil sejak saat itu. Inilah dividen demokrasi
yang telah kita peroleh.
Semua hal positif tersebut juga diikuti dengan
era keterbukaan informasi di Indonesia, setiap orang dapat dengan bebas berpendapat.
Media semakin bebas dalam berpendapat dengan sudut pandang masing-masing,
media-media baru juga terus bermunculan. Namun, konglomerasi media yang
dikuasai oleh pemilik modal yang juga terafiliasi dengan jaringan politik,
membuat informasi yang bebas tersebut mengalami distorsi ketika disampaikan ke
publik.
Sayangnya keterbukaan itu tidak diikuti dengan
transformasi dalam tingkat intelektualitas masyarakat. Secara pemikiran dan
mental, masyarakat belum siap dengan keterbukaan informasi. Akibatnya,
terjadilah seperti yang sekarang. Masyarakat belum memiliki sistematika
bernalar yang baik, sehingga tidak mampu memilah-milah informasi yang diterima.
Akibatnya, media menjadi ajang yang paling baik untuk menjadi alat politik para
elit.
Akhirnya, muncullah kaum elit munafik yang
memanfaatkan media untuk mencapai keinginan sendiri atau golongan. Ya, itu
mungkin merupakan bahan sisa atau residual dari proses demokratisasi kita, yang
seharusnya dapat dihindari jika transformasi tersebut diikuti dengan peningkatan
kualitas SDM, terutama intelektualitas. Mungkin inilah kesalahan utama dari
proses demokratisasi kita.
Kaum elit munafik tersebut sebenarnya tak lebih
dari kentut demokrasi, karena merupakan bahan sisa. Mereka memanfaatkan media
untuk pencitraan, atau untuk menyerang lawan politik, yang kadang menggunakan
cara diluar nalar orang waras. Syahwat berkuasa membuat mereka sanggup melewati
batas-batas nalar, etika, dan moral.
Pihak oposisi menyerang penguasa melalui media
yang mereka miliki, sangat jauh dari kata proporsional. Sengaja atau tidak,
mereka menciptakan kesan bahwa negara ini adalah negara sampah, negara yang
sama sekali tidak memiliki hal yang baik, negara yang penuh dengan
permasalahan. Mereka menciptakan pesimisme di masyarakat-termasuk di kalangan
anak muda, yang akan sangat membahayakan kelangsungan masa depan bangsa.
Padahal jika kita mampu memandang dengan
bijaksana, sangat banyak hal baik dalam bangsa ini. Puluhan, bahkan mungkin
ratusan atau ribuan, putra-putri terbaik bangsa kita berprestasi di dunia
internasional, namun media tidak pernah memberitakan itu. Media lebih senang
mengadakan acara debat politik yang tidak jelas arahnya selain ogah-ogahan
untuk menunjukkan arogansi penguasa dan oposisi. Bangsa kita masih memiliki
banyak anak muda yang tangguh, yang tidak mempan dengan godaan kekuasaan dan duit jahanam.
Saya teringat dengan testimoni dari Chatib Basri
yang sekarang menjabat sebagai Ketua BKPM, ketika bersama mengikuti KTT G20 di
Pittsburgh, Amerika Serikat. Sri Mulyani begitu dihormati dan didengar oleh
para menteri keuangan negara maju lain, seperti Alistair Darling dari Inggris,
Tim Geithner dari Amerika, atau Christine Lagarde dari Prancis. Dalam forum
diskusi, Sri Mulyani kerap diminta menjadi pembicara pembuka, peran yang sangat
vital dan prestisius. Darling atau Geithner di beberapa kesempatan, setelah
mereka bicara, berpaling dan menanyakan, “Sri Mulyani, what do you think….?”
Bergetar hati saya mendengar hal ini, emosi kebangsaan saya tiba-tiba meledak.
Sayangnya orang seperti ini tidak mendapat tempat di bangsa ini, politisi
busuklah yang dipuja-puja.
Karena elit politik munafik tersebut tak lebih
dari kentut demokrasi, sudah saatnya kita untuk menjauhi mereka agar kita tidak
terkena bau busuknya. Kita juga harus meningkatkan kemampuan bernalar kita agar
mampu memilah informasi dan memanfaatkannya demi kemajuan bangsa. Indonesia
adalah negara dengan potensi yang luar biasa, dunia mengakuinya. Sudah saatnya
kita menghargai bangsa kita sendiri, jangan biarkan elit busuk tersebut
menghancurkan mimpi kita dan mimpi bangsa. Dirgahayu Indonesiaku!!
1 comments:
Great, Boy!
Post a Comment