Indonesia adalah negara kaya. Itu adalah fakta yang tak
terbantahkan.
Kekayaan alam telah muncul menjadi menjadi mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Dari resesi
ekonomi tahun 1965, dimana saat itu ekonomi minus 8%, Indonesia mulai bangkit
di tahun 1970-an. Di masa itu pertumbuhan ekonomi bersumber dari ledakan harga
minyak di pasar internasional.
Berikutnya era 1980-an, setelah
booming minyak bumi berhenti, eksploitasi hasil hutan menjadi tumpuan.
Dan kemudian pada tahun 2000-an, Batubara dan minyak sawit menjadi komoditas idola.
Namun Indonesia tetap terjebak dalam masalah pelik hingga saat ini.
Dari populasi 234 juta penduduk, lebih dari 32 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pertumbuhan lapangan kerja selalu berada di bawah pertumbuhan
jumlah penduduk.
Iklim investasi memang sudah
membaik, namun ketidakpastian regulasi masih tinggi akibat pemerintahan yang
korup. Infrastruktur yang minim juga menjadi masalah yang belum terpecahkan di
Indonesia.
Dalam teori ekonomi, dikenal istilah Resource Curse atau Paradox of Plenty. Situasi paradoks di mana negara dengan limpahan
sumber daya alam tak terbarukan mengalami kemiskinan
yang tinggi. Tata kelola negara yang buruk, kemiskinan yang
tinggi, dan konflik menjadi ciri khas negara ini. Kawasan Timur Tengah menjadi
contoh yang paling tepat untuk menggambarkan situasi ini.
Masalah ini pernah dialami Belanda setelah ditemukan cadangan gas Laut Utara tahun 1959 (Dutch
Disease). Ketika itu, arus masuk pendapatan
dalam mata uang dolar menyebabkan apresiasi tajam mata uang domestik. Minyak
akhirnya mendominasi perekonomian. Sektor non-minyak seperti pertanian dan
manufaktur menjadi kurang kompetitif di pasar dunia.
Kutukan sumber daya alam terjadi karena negara mulai memfokuskan seluruh
energi pada satu industri saja, seperti pertambangan, dan mengabaikan
sektor-sektor utama lainnya. Sektor yang non-tradable,
yang cenderung butuh effort lebih besar, menjadi prioritas ke sekian.
Akibatnya, bangsa menjadi terlalu tergantung pada harga komoditas, dan
produk domestik bruto secara keseluruhan menjadi sangat volatile karena tergantung ke harga pasar.
Negara dengan SDA kaya juga punya kecenderungan pemerintahan yang korup
dan tidak efisien. Ketika ada sektor ekstraktif
yang relatif dapat menghasilkan easy
money, kecenderungan untuk menghambur-hamburkan juga ada. Seperti kata
klise yang biasa kita dengar “easy come
easy go.”
Para pemburu rente berebut memasuki sektor ini. Tak heran bila daftar
orang terkaya Indonesia diisi oleh pebisnis yang mencari peruntungan dari
eksploitasi SDA.
Tenaga kerja juga berlomba memasuki
sektor ini karena menjanjikan insentif yang lebih besar.
Mungkin inilah yang menjadi penyebab negara kita tertinggal dalam banyak
hal. Dari dahulu, pemikiran kita dicekoki dengan doktrin bahwa Indonesia adalah
negara yang sangat kaya. Ini membuat bangsa kita tumbuh menjadi bangsa yang
pemalas karena menganggap diri sudah kaya. Tanpa bekerja keras juga kita masih
bisa bertahan hidup.
Jepang tumbuh menjadi negara yang maju karena mereka sadar bahwa negara
mereka adalah negara yang susah. Mereka butuh kerja keras walaupun hanya untuk
sekedar dapat bertahan hidup. Sektor manufaktur mendapat perhatian sangat
besar. Industrialis tumbuh pesat menciptakan lapangan kerja baru.
Tampaknya bangsa kita memang masih gagal melakukan kapitalisasi atas
kekayaan itu. Dan ini adalah masalah ekonomi Indonesia jika dilihat dari gambar
besarnya. Sekaligus ini menjadi tugas buat presiden yang akan terpilih nanti.
Namun saya tidak yakin jika ada kandidat presiden yang menyadari permasalahan. Naif rasanya jika kita memilih presiden hanya karena
popularitas media.
Disaat musim pemilu seperti sekarang, kandidat hanya berlomba mengangkat
isu yang sama. Isu yang sangat basi menurut saya, yaitu gencarnya penguasaan
asing di Indonesia. Semua berlomba mengatakan bahwa pihak asing telah menguasai
Indonesia. Kelihatan bahwa mereka sebenarnya tidak paham permasalahan negara
ini apa.
Toh yang saya lihat, pengusaha lokal tidak lebih baik dari asing. Banyak
perusahaan asing yang lebih taat pajak daripada lokal. Banyak perusahaan asing
yang lebih memanusiakan karyawannya daripada lokal.
Memang perusahaan asing itu juga
hanya peduli dengan keuntungan, mereka mungkin bukan berniat untuk memajukan
Indonesia. Tapi bukannya memang itulah bisnis? Apa bedanya dengan pebisnis
lokal?
Sekarang menjadi tugas pemerintah
adalah membuat negara juga mendapatkan porsi atas keuntungan mereka itu dengan
regulasi yang tepat.
Jadi sebenarnya isu asing atau lokal sudah tak relevan lagi saat ini.
Sekarang adalah era kompetisi pasar bebas. Mari meningkatkan kualitas jika
ingin mengalahkan asing. Semoga bangsa kita tidak menjadi seperti semut yang mati
karena gula.
Dipublikasikan pada Koran Kontan, 9 April 2014
Dipublikasikan pada Koran Kontan, 9 April 2014