Koran Kontan, 27 Agustus 2013
Arman Boy Manullang
Jika ingin
mencari kambing hitam atas krisis pasar keuangan saat ini, salahkan saja Ben
Bernanke. Sinyal tapering off atas
formula moneter ajaib “quantitative
easing” yang diucapkannya memicu aksi sell
off di pasar negara berkembang. Apa daya, nilai Rupiah ikut terseret
pelarian modal itu. Semua tak lepas dari membaiknya data perekonomian Amerika
Serikat.
Mundur
sedikit ke belakang, pada 29 April 2013, ketika IHSG sukses menjebol angka
psikologis 5.000, saya menulis artikel berjudul "Shifting Dana
Global" di koran ini. Ketika itu, gejala pelarian modal asing yang sudah
mulai terlihat di pasar. Resiko di pasar ekuitas pun meningkat dan pengalihan
aset ke instrumen USD turut mengancam nilai Rupiah.
Kemudian
tanggal 23 Mei 2013, ketika IHSG sudah menyentuh angka 5200, saya kembali
menulis tentang hal ini dengan nada yang lebih keras dengan judul "Anomali
Pasar Saham dan Bahaya Bubble". Intinya saat itu saya melihat pasar saham
tidak bergerak sejalan dengan fundamental Indonesia.
Saat itu mayoritas
media dan laporan analis mengatakan IHSG masih akan terus melaju dan jauh dari
kata koreksi. Bahkan beberapa pihak dan forum mengecam saya karena menyebarkan
sentimen negatif ke bursa.
Apa yang
kita takutkan itu akhirnya terjadi saat ini. Inflasi yang meninggi, berakhirnya
era suku bunga rendah, defisit neraca yang melebar akibat kinerja ekspor yang
anjlok, dan melemahnya nilai tukar Rupiah, sudah terjadi saat ini. Dan masih
mungkin makin memburuk lagi.
Posisi IHSG
bahkan sudah melorot 20% dari posisi tertinggi 5.200 tahun ini. Nilai tukar
rupiah juga sempat menembus 11 ribu pada kurs jual. Bank Sentral tidak mampu
melakukan intervensi terus menerus karena beresiko menggerus cadangan devisa yang ada.
Kinerja
penanaman modal juga sudah melambat. Padahal sempat digadang-gadang menjadi
mesin pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengurangi ketergantungan kepada konsumsi
domestik. Kebijakan proteksionisme atas nama nasionalisme menjadi penyebabnya.
Ini juga tak lepas dari tekanan populisme politisi dan perebutan simpati publik
lugu.
Dan lihat
saja sekarang, semua tiba-tiba balik badan berteriak negatif menimbulkan
kepanikan di pasar. Bahkan ada yang menyamakan krisis ini dengan krisis 1998. Ini
pandangan yang berlebihan menurut saya. Dan
pemerintah menjadi panik. Terlambat sudah, ekonomi sudah terlanjur sakit,
meskipun belum parah.
Adalah aneh
mengelola ekonomi negara sebesar Indonesia tanpa formula yang jelas. Pencegahan
krisis adalah sesuatu yang langka di negeri ini: sakit dulu baru diobati. Padahal revisi
outlook atas rating Indonesia oleh S
& P dari positif menjadi stabil pada Mei kemarin seharusnya sudah lebih
dari sekedar peringatan. Namun itu ternyata tidak cukup. Mungkin sudah bawaan
mental bekas jajahan, ditampar dulu baru sadar.
Kehilangan
status investment grade menjadi
ancaman berikutnya. Memang Bank
Indonesia memberikan sinyal positif bahwa defisit neraca transaksi berjalan bakal menyempit pada paruh kedua tahun ini, seiring
dengan pemulihan kondisi ekonomi global dan penyesuaian ekonomi domestik. Namun
itu tidak mengurangi kekhawatiran kita akan ancaman di depan.
Kesempatan dalam krisis
Okelah,
semuanya sudah terjadi, tak ada gunanya meratapi portofolio yang memerah hingga
dua digit. Lantas apa yang bisa kita pelajari?
Pepatah
klasik bahwa selalu ada kesempatan dalam setiap krisis sangat berguna saat ini.
Walaupun memang terdengar klise. Banyak cerita sukses yang berawal dari krisis.
Jika boleh saya menggunakan bahasa bombastis, banyak orang kaya mendadak ketika
krisis usai. Itu hanya masalah waktu dan kesabaran.
Krisis
adalah kesempatan mendapatkan aset bagus dengan harga murah. Mulai sekarang,
silakan lirik saham-saham bagus incaran anda.
Jauhi dulu
saham dari emiten yang sangat bergantung pada impor, termasuk emiten yang
memiliki hutang besar dalam USD. Ingat di awal tahun ini, banyak emiten yang
berlomba mencari pendanaan global dengan menerbitkan surat hutang dalam USD.
Depresiasi Rupiah yang susah diprediksi sejauh mana sangat mengancam emiten
seperti ini.
Musuh kita
yang terutama memang adalah diri sendiri. Kita sering meninggakan akal sehat
dan optimis berlebihan ketika dalam posisi senang (market bullish). Kita hanya terbiasa melakukan rasionalisasi dan
justifikasi atas yg sudah terjadi tanpa melihat gejala yang sudah kasat mata.
Semoga
situasi sekarang ini dapat kita jadikan pembelajaran hidup. Mereka yang tidak
tahu sejarah ditakdirkan untuk mengulanginya, demikian kata Edmund Burke.