Agama
mungkin adalah hal yang tidak relevan lagi dalam konsep masyarakat kosmopolitan
— ide bahwa seluruh umat manusia adalah bagian dari komunitas tunggal. Sebab
agama, melalui ajaran dan doktrin, cenderung mengarahkan manusia untuk
berpikiran sempit, tidak bebas nilai, dan yang pada akhirnya akan menimbulkan
konflik sesama. Ide masyarakat kosmopolitan ini mungkin menjadi dasar berpikir
semua filsafat etika.
Secara
dimensi ruang atau jarak, peradaban manusia saat ini semakin mendekati konsep
kosmopolit yang sempurna. Hampir tidak ada lagi batas komunikasi antara dua
ujung dunia, dan semuanya tentu dengan biaya yang relatif murah. Walaupun
memang jarak secara fisik belum mampu didekatkan oleh teknologi saat ini — terkendala
oleh unsur dan partikel kehidupan yang belum bisa diciptakan secara artifisial.
Namun argumen ilmiah terakhir sudah mengatakan bahwa alat tele-transporter bukanlah hal yang mustahil. Stephen Hawkins juga
sebenarnya sudah menemukan argumen dimana ketiadaan menjadi ada secara
tiba-tiba, berbeda dengan mesin waktu yang memang mustahil dan susah dijangkau
rasio, setidaknya untuk saat ini.
Jauh
mundur ke belakang, di sekitar abad ke-2 Masehi di era berkembangnya
kepercayaan Hellenistic, Hierocles sebenarnya sudah meletakkan pondasi dasar
untuk masyarakat kosmopolit, dikenal
dengan Hierocles circles model. Hierocles
mengatakan manusia berada dalam satu lingkaran konsentris yang terdiri atas
beberapa lapis. Lapisan ini dimulai dari diri sendiri sebagai pusat ego hingga lingkaran
paling jauh alam semesta, baik dari ilmu astronomi maupun filsafat.
"Each
one of us is as it were encompassed by many circles… the first and closest
circle is the one which a person has drawn as though around a centre, his own
mind… The outermost circle, which encompasses all the rest, is that of the
whole human race… the task [is]… to keep zealously transferring those from the
enclosing circles into the enclosed ones."
— (Hierocles
in Long and Sedley 1987:57) —
Menurut teori ini, individu yang berada dalam masyarakat kosmopolitan harus menarik individu yang berada di lingkaran luar untuk mendekat ke lingkaran dalamnya sendiri, untuk menciptakan hubungan kuat secara emosional yang seharusnya akan mereduksi konflik.
Sekarang
masing-masing kita sudah dapat mengukur diri ada di posisi dimana. Apakah kita
masih berada di lingkaran paling dalam? Ataukah sudah berpindah ke lapis paling
luar? Seharusnya manusia akan terus berpindah seiring bertambahnya umur dan
meluasnya pergaulan. Menyedihkan jika manusia hanya berada di lingkaran
pertama, kedua, atau ketiga.
Salah
satu pertanyaan yang muncul adalah: Dapatkah seorang individu menyelesaikan
seluruh proses ini dalam kehidupan? Berapa lama waktu yang dibutuhkan? Dan apa
yang akan terjadi jika seluruh proses sudah selesai? Mungkin akan tercipta
masyarakat Utopia menurut gambaran Thomas More.
Hal ini
memang mungkin tidak akan pernah tercapai. Kehidupan manusia penuh dengan
distorsi dan mispersepsi. Itu akibat keterbatasan manusia yang disebut dengan Scotoma: the mind sees what it chooses to see.
Saat ini,
ada orang atau sekelompok yang sudah mengklaim diri sebagai warga dunia tanpa
batas (universalist). Ini mungkin
adalah mencontek ide dari Diogenes of Sinope (4SM) yang dikenal dengan praktek
hidup yang sangat ekstrim, menyindir para filsuf etika yang hidup mapan saat
itu. Satu waktu orang bertanya ketika dia berkeliaran dengan telanjang bulat di
jalan raya Athena seperti binatang: “Darimanakah kamu berasal?”. Dia menjawab: “Saya
adalah warga dunia”.
Namun
teori ini juga memiiki kelemahan, sebab tidak semua individu memiliki lingkaran
konsentris yang lengkap dan sempurna. Ada individu yang tidak memiliki salah
satu, atau dua, atau lebih dari lapisan lingkaran konsentris. Namun disisi
lain, setiap manusia akan terus mencari keberadaan lingkaran itu untuk mengisi
kekosongan ruang. Akibatnya, individu itu akan menciptakan lingkaran konsentris
buatan, hasil manipulasi dan rasionalisasi diri sendiri atau kelompok. Dan
sayangnya, lingkaran artifisial ini tidak akan sempurna, kecenderungannya
dibuat hanya berdasarkan kepentingan (ekonomi?), atau berdasarkan
hitung-hitungan cost benefit.
Individu
yang berada dalam lingkaran konsentris buatan inilah yang rentan menjadi
perusak masyarakat kosmopolitan, sebab ada ruang kosong dalam kehidupannya yang
kelihatan seperti berisi dengan lengkap(maaf kalau saya generalisir).
Konsep
utopis versi Hierocles ini mungkin tercapai ketika seluruh manusia benar-benar
melebur menjadi satu, tanpa agama dan fanatisme. Namun jika kehidupan tanpa
agama, saya juga khawatir manusia hanya akan mengulang mundur sejarah jauh ke
belakang. Tidak! Untuk ituah gunanya kita belajar sejarah, agar kita tidak
mengulangi kesalahan yang dilakukan nenek moyang kita. Atau mungkin itu akan ditemukan dalam praktek
konsep universal-single religion. Atau
ini mungkin hanya oxymoron buntu yang
tidak akan mungkin dicapai.
Ah..ntah
lah, saya tidak tahu jawabannya. Maafkanlah keterbatasan berpikir saya. Yang
penting kita sepanjang kehidupan terus berusaha memperbesar ruang toleransi,
membuang fanatisme, menghindari mispersepsi terhadap orang lain, memperkaya
perspektif dengan menggali kehidupan. Itupun berarti manusia hanya berjalan
terus untuk menjauh dari sumber ketakutan, bukan untuk mencapai apa yang diinginkan.
Ah, hidup yang sia-sia. Tidakkah menyedihkan jika manusia hanya hidup untuk
berlari dari ketakutan?.
0 comments:
Post a Comment