Bisnis sektor perbankan Indonesia memang adalah sangat menarik,
bila dibandingkan dengan negara lain dalam regional. Dengan profit margin yang
sangat tinggi, yang terutama didorong oleh tingginya kredit sektor konsumsi
(lagi-lagi berasal dari konsumsi masyarakat kelas menengah), ditambah dengan
angka kredit macet (NPL) yang terjaga dibawah level 3%, membuat sektor ini
menjadi surga untuk investor. Tak heran jika sektor ini menjadi idola di
Indonesia, akibat pertumbuhan laba yang sangat mencengangkan. Tak heran juga
perbankan-perbankan asing berebut masuk ke Indonesia untuk memanfaatkan peluang
itu.
Berbicara tentang sektor perbankan Indonesia, isu yang paling
hangat belakangan ini adalah perpindahan fungsi pengawasan perbankan dari BI ke
lembaga superbody Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang direncanakan akan
beroperasi penuh tahun 2014 mendatang. OJK ini memang diharapkan dapat
mempermudah koordinasi dalam industri keuangan secara umum, terutama saat masa
krisis. Sulitnya koordinasi seperti yang terjadi pada masa krisis 2007 tentu
tidak akan terulang lagi jika OJK sudah berdiri.
Namun, ada permasalahan struktural yang paling mendasar dalam
perbankan Indonesia, yaitu tingginya angka selisih bunga pinjaman dengan bunga
simpanan (spread). Penurunan suku bunga acuan BI rate sudah dilakukan oleh
pemerintah, namun tidak serta merta diikuti dengan penurunan suku bunga
perbankan. Ada gap yang teramat besar dalam hal ini, yang sekaligus menunjukkan
bahwa transmisi kebijakan moneter Bank Sentral melalui BI rate tidak berjalan
di Indonesia.
Ada kalimat sinis yang biasa dikatakan orang-orang untuk
menggambarkan kondisi bisnis perbankan di Indonesia: “Dengan ongkang-ongkang
kaki saja, tidak perlu butuh kerja keras, bank pasti mendapatkan untung”. Pameo
ini memang bisa diterima dan masuk di akal, sebab orang tetap membutuhkan bank
untuk menyimpan dan meminjam uang. Pihak bank hanya tinggal duduk menunggu
nasabah untuk menyimpan uang, dan kemudian meminjamkannya kepada pihak lain.
Dan bank akan menuai untung dari spread bunga tersebut.
Memang, sejak Mei 2012, BI sudah berhasil memaksa industri
perbankan untuk menurunkan suku bunga, melalui kebijakan untuk mengumumkan Suku
Bunga Dasar Kredit (SBDK) kepada publik, untuk tujuan transparansi. Kebijakan
ini berhasil menurunkan angka Net Interest Margin (NIM) sebagai indikator
spread suku bunga pada industri perbankan. Pada awal tahun 2012, angka NIM
masih bertengger di posisi 5,9%, dan berhasil diturunkan ke 5,2% pada Maret
2012, namun kembali naik menjadi 5,48% pada akhir tahun 2012.
Namun angka penurunan NIM ini tentu masih sangat jauh dari
harapan. Angka ini juga masih sangat jauh bila dibandingkan dengan indikator
perbankan kawasan. Bank Indonesia sendiri juga pernah mengatakan akan
mengarahkan angka NIM ke sekitaran 4%, masih sangat jauh dari yang ada saat
ini.
Ekspektasi NIM memang diprediksi akan menurun. Hasil Survei dari
PwC mengatakan bahwa 72% dari banker level eksekutif yang disurvei
memperkirakan bahwa angka NIM perbankan Indonesia akan semakin menyempit ke
depan. Satu hal yang menarik dari hasil survei ini adalah: ternyata rating
investment grade yang diperoleh Indonesia bisa membawa akibat negatif kepada
industri perbankan nasional, sebab bank harus bersaing dengan sumber-sumber
pendanaan alternatif lain yang bisa didapatkan oleh calon debitur.
Tingginya resiko premium yang harus ditanggung perbankan menjadi
salah satu alasan yang sering dikemukakan para bankir. Alasan ini sangat
kontras dengan angka kredit macet (NPL) perbankan yang sebenarnya sudah stabil
di bawah angka 2,2%. Kontras juga dengan tren BI rate yang sudah stabil di
angka 5,75%, bandingkan dengan angka 6,75% pada September tahun lalu. Jadi
alasan ini sebenarnya sangat tidak masuk akal.
Kendala minimnya infrastruktur Indonesia mungkin menjadi alasan
yang paling bisa diterima sebagai alasan tingginya suku bunga kredit, sebab
biaya logistik yang tinggi akan membuat biaya overhead yang dimasukkan ke dalam
perhitungan suku bunga menjadi tinggi.
Melihat angka indikator perbankan Indonesia, terlihat ada hal yang
sangat mencengangkan. Ternyata indikator Beban Operasional terhadap Pendapatan
Operasional (BOPO) masih sangat tinggi. Angka ini masih stabil di kisaran 75%,
jauh dari rata-rata negara ASEAN di kisaran 60%. Hal itu menunjukkan bahwa
operasional bank-bank di Indonesia masih jauh dari kata efisien. Inilah
sebenarnya yang menjadi sumber permasalahan tingginya suku bunga di Indonesia.
Struktur kepemilikan perbankan di Indonesia juga masih membuka
celah untuk terciptanya manipulasi dalam penentuan suku bunga. Saya bahkan
mencurigai adanya kartel antara beberapa bank besar di Indonesia untuk
menetapkan suku bunga. Memang saat ini ada total 120 perbankan di Indonesia,
namun kebanyakan adalah pemain kecil yang hanya sekedar follower. Pemain dengan
pangsa pasar terbesar hanya dikuasai oleh beberapa bank saja. Kongkalikong
antara pemain besar tersebut (terutama bank-bank BUMN) masih mungkin terjadi
untuk menciptakan kartel suku bunga.
Sebenarnya isu ini adalah sangat penting sebab menjadi salah satu
penyebab lemahnya daya saing bisnis di Indonesia, beum lagi ditambah lagi
dengan permasalahan birokrasi dan infrastruktur yang masih buruk. Pemerintah
harus secepatnya mengatasi persoalan ini jika ingin meningkatkan daya saing di
dalam kawasan, terutama menyambut pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC)
2015.
0 comments:
Post a Comment