Mayoritas orang berargumen
bahwa bila Tuhan sudah ditemukan, maka esensi dari seorang manusia ideal
akan kita temukan dalam diri orang yang sudah menemukan Tuhan tersebut --walaupun
mungkin memang bukan Utopis--. Namun
fakta kehidupan paradoks dengan argumen itu, setidaknya
apa yang sudah
saya lihat di usia yang masih seperempat abad ini.
Ada orang yang berusaha
mencari kesempurnaan secara manusiawi --tetap bukan utopis juga--, baru
kemudian mencari Tuhan. Namun kebanyakan keidealan secara manusiawi itu tidak akan
pernah berhasil dicapai dan ditemukan, sehingga Tuhan tidak akan sempat
ditemukan, mengingat umur manusia yang terbatas. Dan saya lebih memilih untuk
menjalani kehidupan seperti ini dibandingkan mencari Tuhan sebagai prioritas.
Kehidupan manusia yang
mengenal dimensi waktu dan ruang ini memang sangat aneh menurut standar
kenormalan. Kehidupan kita penuh dengan karakter, perilaku, sifat, sikap yang
lebih sering paradoks daripada pararel. Dan itu adalah kehidupan itu
sebenarnya. Membayangkan kehidupan yang aneh dan paradoks tersebut, saya tidak
bisa membayangkan bagaimana peradaban manusia tanpa agama, peraturan, atau etika
sosial. Dan inilah alasan yang membuat saya tetap menyadari bahwa kehidupan manusia
memang membutuhkan peran agama, tidak lebih dari untuk untuk menjinakkan
kebrutalan manusia itu.
Satu bacaan yang paling
saya ingat yang selalu mampu mengingatkan saya ketika keliaran sudah muncul adalah
doktrin-doktrin dari Thomas Hobbes' Leviathan tentang nature dari kehidupan
manusia yang sangat mengerikan: “In such condition, there is no place for
industry; because the fruit thereof is uncertain: and consequently no culture
of the earth; no navigation, nor use of the commodities that may be imported by
sea; no commodious building; no instruments of moving, and removing, such
things as require much force; no knowledge of the face of the earth; no account
of time; no arts; no letters; no society; and which is worst of all, continual
fear, and danger of violent death; and the life of man, solitary, poor, nasty,
brutish, and short.”
Namun jangan lupa, semua
aturan juga dinamis mengikuti peradaban. Apa yang layak menurut manusia pada
5.000 tahun lalu, mungkin sudah dinistakan dalam peradaban detik ini. Apa yang
layak menurut peradaban detik ini, juga mungkin sudah akan dinistakan oleh 100
garis keturunan di bawah kita nanti. Jika saat ini misalnya menikah dengan
saudara sedarah adalah tidak layak dan nista, siapa tahu 100 keturunan kita
dibawah malah menganggap pernikahan sedarah adalah yang paling ideal.
Satu poin yang saya
dapatkan adalah: Kita boleh saja memiliki standar utopis sesuai idealisme masing-masing,
namun harus tetap ingat bahwa kita hidup di peradaban yang sekarang. Memperjuangkan
idealisme sesuai dengan kebenaran yang dianut juga sah-sah saja, namun
kebenaran yang bagaimana? Toh pada sumber muara dari ilmu pengetahuan, kita
temukan bahwa kebenaran itu juga adalah hasil dari manipulasi dan rasionalisasi.
Toh kebenaran itu juga adalah statistik dan konsensus yang menjadi pemenang, yang
sebenarnya juga belum tentu benar menurut minoritas yang tidak mengikuti konsensus.
Jika kita masih memikirkan
untuk hidup ideal sesuai dengan seluruh standar, maka sebenarnya kita hidup di
dalam dunia mimpi. Kebaikan dan keburukan susah untuk direduksi secara sempurna
dalam kehidupan manusia. Walaupun saya menganggap bahwa jahat dan egois
merupakan default mode atau factory standard dari manusia ketika
terlahir.
Saya percaya bahwa
harmonisasi adalah unsur utama kehidupan yang ideal. Prinsip keseimbangan
membuat manusia tetap sadar akan eksistensi manusia yang sangat kecil dalam
alam semesta ini. Kita tidak perlu menganggap apa yang kita anut sebagai apa
yang paling benar, karena memang semua manusia punya kecenderungan menganggap diri sebagai
orang yang paling benar. Sebab jika kita tidak menganggap demikian, maka kita
tidak akan mungkin memilih untuk menganut apa yang kita anut itu. Dan jika kita
masih menganggap diri kita sebagai yang paling benar, berarti kita sama saja dengan
miliaran manusia lain di dunia ini.
Dan belajar harmonisasi dan
keseimbangan ini bisa kita peroleh dari alam dan seni, ditambah
dengan meluangkan sedikit waktu untuk merefleksikan kehidupan. If life
isn't about human beings and living in harmony, then I don't know what it's
about!
0 comments:
Post a Comment